REPUBLIKA.CO.ID, Irak sebagaimana negara-negara Timur Tengah hingga saat ini merupakan pelaku utama produsen minyak dunia. Jurnal Oil and Gas memperkirakan Irak mempunyai cadangan minyak sebesar 115 miliar barel atau terbesar ketiga di dunia.
Sebagian besar cadangan itu, yakni 65 persen ada di wilayah selatan. Analis perminyakan yakin Irak masih menyimpan lebih banyak sumber minyak yang belum ditemukan dan saat ini kekayaan minyak yang dieksplorasi baru 10 persen. Data OPEC menyebutkan Irak justru berada di urutan kedua setelah Saudi Arabia (258 miliar barel), Irak (100 miliar barel), Iran (93 miliar barel) dan Uni Emirat Arab serta Kuwait masing-masing 92 miliar barel.
Saat ini produksi minyak hari mencapai 1,8 juta barel per hari. Menteri Perminyakan Ibrahim Bahr Al-Uloum beberapa waktu lalu mengatakan kapasitan produksi itu akan ditingkatkan mencapai enam juta barel per hari selama lima tahun mendatang. Ulom menghatakan akhir tahun ini diharapkan produksi minyak telah mencapai dua juta barel per hari dan meningkat menjadi 3,5 juta barel per hari dalam dua tahun mendatang. Selama itu pemerintah akan mengembangkan dan membuka sumur-sumur minyak baru dan juga gas, khususnya di selatan.
Louise Richards, direktur pelaksana organisasi kemanusiaan, War on Want, mengatakan masyarakat Irak dan juga masyarakat internasional kini dengan jelas memahami bahwa perang Irak semata-mata adalah perang mengenai minyak, keuntungan, dan barang rampasan. ''Keuntungan minyak Irak sangat jauh dari digunakannya keuntungan itu sendiri sebagai alat untuk mengurangi masalah yang dihadapi mereka, tetapi sebaliknya keuntungan itu kini berada pada rengkuhan perusahaan-perusahaan multinasional,'' kata Richards.
Tidak dapat dimungkiri emas hitam ini memang menjadi sumber konflik yang tidak ada habisnya. Situs BBC menyebutkan sejumlah daftar bagaimana minyak dan semua yang mewakili energi menjadi sumber konflik. Timur Tengah memang bagaikan magnet. Studi menyebutkan mereka menyimpan 65,4 persen cadangan minyak dunia, 25 persen di antaranya ada di Saudi Arabia. Awalnya barat dalam hal ini Inggris tertarik ke kawasan Teluk hanya karena kepentingan maritimnya. Namun perhatian mereka berubah ekstrasi minyak dikembangkan di wilayah ini pada 1930-an.
Minyak juga bermain dalam kudeta di Iran pada 1953. Bersama Inggris, Amerika Serikat (AS), yang menunjukkan minat yang besar di kawasan ini, berhasil mendepak perdana menteri terpilih, Mohammed Mossadegh, dan menaikkan Shah Reza Pahlevi, yang kemudian terjungkal ketika pecah Revolusi Islam Iran pada 1979.
Ambisi AS untuk menguasai sumber minyak dapat diketahui dari arsip yang dirilis oleh Arsip Nasional Inggris. Arsip itu menunjukkan pada 1973 AS telah berencana menguasai sumber-sumber minyak di Arab Saudi, Kuwait, dan Abu Dhabi untuk menangkal embargo minyak dunia Arab kepada Barat.
Bahkan makalah yang ditulis analis militer AS baru-baru ini menyebutkan AS bisa saja berhadapan dengan Eropa terkait dengan menipisnya cadangan minyak di Timur Tengah. Baik Eropa maupun AS memang tergantung sepenuhnya pada minyak. Konsumsi mereka mencapai 11.357 ton minyak perkapita dan 11.895 ton minyak per kapita.