REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Pembunuhan seorang pria Palestina dengan autis oleh dua petugas polisi Israel pekan lalu telah memicu pernyataan belasungkawa yang jarang dari pejabat Israel dan internasional. Namun, orang-orang Palestina kurang percaya penyelidikan yang dilakukan akan menghasilkan pertanggungjawaban.
Iyad Hallaq sedang berjalan ke sekolah kebutuhan khusus di Kota Tua Yerusalem ketika dia dipanggil oleh petugas Israel. Dia diberhentikan karena petugas Israel curiga membawa senjata.
Melalui pernyataan resmi Kepolisian Israel, kecurigaan terhadap pria berusia 32 tahun ini justru membuat takut dan dia mulai panik dan lari. Polisi pun mengejarnya dan ketika Hallaq bersembunyi di balik tempat sampah, hanya beberapa meter dari sekolahnya, dia ditembak mati.
Departemen investigasi internal kepolisian Israel sedang menyelidiki insiden itu. Menurut harian Israel Haaretz, sebuah sumber dalam penyelidikan mengatakan salah satu petugas merupakan anggota baru yang dipersenjatai dengan senapan serbu M16. Dia diduga terus menembak Hallaq meskipun diberitahu oleh komandannya untuk berhenti.
Petugas yang sama mengatakan, dia mencurigai Hallaq adalah teroris karena mengenakan sarung tangan. Padahal, Hallaq didiagnosis dengan autisme dan mengalami kesulitan berkomunikasi dengan orang-orang.
Menurut ayah Hallaq, Khairy Hallaq, putranya memiliki kapasitas mental seorang anak berusia delapan tahun. Dia tidak memiliki konsep realitas kehidupan berbahaya yang sedang terjadi di sekitarnya.
Hallaq diberikan dokumen khusus oleh sekolah yang telah dia hadiri selama enam tahun terakhir. Dokumen itu menjelaskan ketidakmampuannya sehingga dia dapat membuktikan kondisinya kepada pasukan Israel karena dia tidak dapat menjelaskannya sendiri.
Anggota keluarga Hallaq mengatakan dia tidak mampu melukai siapa pun. Melalui fakta yang terungkap, akhir pekan lalu, Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz mengeluarkan permintaan maaf yang langka.
"Kami sangat menyesal atas kejadian ini. Saya yakin masalah ini akan diselidiki dengan cepat dan kesimpulan akan ditarik," kata Gantz dalam pertemuan pemerintah dikutip dari Aljazirah.
Pada hari yang sama, koordinator khusus PBB untuk proses perdamaian Timur Tengah, Nickolay Mladenov, mengutuk pembunuhan itu. Dia menyebutnya sebagai tragedi yang seharusnya dan bisa dihindari.
"Pihak berwenang harus segera menyelidiki dan memastikan insiden seperti itu tidak diizinkan terjadi," kata Mladenov.
Tapi sepupu Hallaq, Mansour Abu Wardieh, mengatakan keluarga tersebut pesimistis tentang penyelidikan polisi terhadap penembakan itu. "Berita pemerintah Israel yang memerintahkan penyelidikan atas pembunuhan Iyad tidak ada artinya bagi kami," kata Mansour.
Mansour yakin Israel akan memutarbalikkan fakta yang ada dan mereka tidak akan terkejut dengan hal itu. Dia menduga petugas akan menyatakan pembelaan dengan melakukan penembakan karena membela diri.
Warga Israel yang membunuh warga Palestina adalah kebijakan umum yang telah ada sejak awal pendudukan. Koordinator mobilisasi lokal di Grassroots Jerusalem, Amany Khalifa, menjelaskan setiap warga Palestina diperlakukan sebagai sosok yang mencurigakan.
"Iyad terbunuh karena menjadi orang Palestina saja. Ada kemungkinan bahwa pernyataan-pernyataan ini [oleh Gantz dan Friedman] menunjukkan menenangkan opini publik dalam kasus Iyad, tepatnya karena kondisi kesehatan mentalnya, dan kejelasan kebijakan menargetkan tubuh Palestina," ujar Khalifa merujuk pada Duta besar Amerika Serikat AS untuk Israel, David Friedman.
Dalam kicuan di Twitter, Friedman menyatakan rasa sedih atas peristiwa yang terjadi pada Hallaq. Dia mengantarkan rasa bela sungkawa atas peristiwa tersebut.
"Kami menyambut ekspresi kesedihan dan komitmen pejabat Israel untuk penyelidikan cepat atas insiden tersebut," kata Friedman.