REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Sejak April 2019 Tentara Nasional Libya (LNA) yang dipimpin Jenderal Khalifa Haftar menyerang Tripoli, ibu kota Libya. Tripoli adalah tempat pemerintahan sementara Libya yang diakui PBB bernaung. Pertempuran itu terus berlangsung dan menimbulkan korban yang tidak sedikit.
Pada akhir Mei lalu Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS) mengatakan bahwa Rusia mengerahkan pesawat tempur ke Libya untuk membantu kontraktor militer yang disokong Moskow. Kemenhan AS mengatakan, langkah ini mungkin bertujuan untuk mendukung Haftar.
Dalam pernyataannya, Komando AS di Afrika mengatakan bahwa pesawat jet MiG-29 telah tiba di Libya. Pesawat yang diterbangkan dari Suriah itu dicat ulang untuk menutup gambar bendera Rusia.
Reuters melaporkan, Deputi Direktur Direktorat Komando Intelijen AS wilayah Afrika, Brigadir Jenderal Gregory Hadfield, mengatakan pesawat-pesawat jet Rusia berangkat dari Rusia. Sementara itu, majalah Foreign Policy mengatakan pesawat-pesawat itu dari Suriah. Tampaknya pesawat-pesawat jet itu terbang melalui Iran dan Suriah sebelum sampai di Libya.
"Rusia jelas mencoba untuk menambah timbangannya di Libya, seperti yang saya lihat di Suriah. Mereka memperluas jejak militer di Afrika menggunakan tentara bayaran milik pemerintah seperti Wagner," kata Kepala Komando AS untuk Afrika yang bermarkas di Jerman, Jenderal Stephen Townsend, dalam pernyataannya.
Townsend menyinggung tentang deklarasi Haftar pada bulan lalu. Saat itu Haftar mendeklarasikan akan meluncurkan serangan udara. Townsend yakin serangan udara itu dilakukan oleh pilot-pilot tentara bayaran Rusia yang menerbangkan pesawat tempur Rusia.
Foreign Policy melaporkan para pakar mengatakan keputusan Pentagon untuk mengungkapkan secara terbuka pengiriman pesawat tempur MiG-29 ini tampaknya dapat mengubah kebijakan pemerintahan Presiden Donald Trump. Hingga kini Trump masih enggan mengintervensi.
Selama kampanyenya Trump mengatakan intervensi yang dilakukan Barack Obama di Timur Tengah merupakan kesalahan terbesar kebijakan luar negeri AS. Krisis Libya juga tidak pernah menjadi fokus pemerintahan Trump sejak Penasihat Keamanan Nasional John Bolton mengundurkan diri tahun lalu.
"Pentagon benar-benar menarik garis merah di sini. Pentagon benar-benar mencoba menakuti-nakuti Gedung Putih agar segera mengambil tindakan," kata Jalel Harchaoui, peneliti di Clingendael Institute di Den Haag.
Kepala Angkatan Udara AS untuk Eropa dan Afrika Jenderal Jeff Harrigian memperingatkan bahwa Rusia dapat merebut pantai-pantai Libya sehingga mereka dapat mengerahkan kekuatan udara yang mencegah pesawat Amerika masuk. "Jika terjadi, hal itu akan menciptakan masalah keamanan yang sangat nyata di sisi selatan Eropa," kata Harrigian.
Menurut Harchaoui, militer AS dapat meresponsnya dengan bendera NATO, mengerahkan aset Angkatan Laut, atau menambah kekuatan mencegah Rusia mendarat. Sangat jarang Pentagon mengungkapkan secara terbuka detail ancaman keamanan seperti ini.
Kini yang menjadi pertanyaannya mengapa Presiden Rusia Vladimir Putin membantu Haftar. Surat kabar Turki yang pro pemerintah, Daily Sabah, menjelaskan bahwa ada sejumlah alasan mengapa Rusia mendukung panglima perang Haftar.
Menurut mereka, salah satunya karena Rusia tidak senang dengan memorandum of understanding (MoU) antara Turki dan pemerintah sementara Libya, GNA (Government of National Accord). Jika Haftar menduduki Tripoli, GNA bubar dan perjanjian antara Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Perdana Menteri Libya Fayez al-Sarraj pada 27 November batal.
Daily Sabah menulis, Rusia senang dengan kebuntuan yang terjadi dalam perselisihan antara Turki dan Israel, Mesir, Yunani, serta Siprus Yunani di Mediterania Timur. Selama konflik itu masih buntu, kemungkinkan Turki dapat mengirim sumber daya hidrokarbon ke Eropa melalui Mediterania masih rendah.
Menurut surat kabar pro pemerintah Turki itu, Rusia ingin Eropa tetap bergantung pada sumber daya hidrokarbon mereka. MoU antara Turki dan Libya tahun lalu mengubah peta kekuatan di Mediterania sehingga membuat Turki lebih unggul. Rusia ingin memukul mundur kemajuan Turki tersebut. Melalui Haftar, mereka ingin mempertahankan status quo sebelumnya.