REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh menyatakan Palestina akan mendeklarasikan kemerdekaan atas seluruh Tepi Barat dan Gaza dengan Yerusalem sebagai ibu kota, jika Israel terus menindaklanjuti rencana mencaplok wilayah Tepi Barat. Palestina juga akan mendorong pengakuan global jika Israel meneruskan rencananya.
Shtayyeh menyebut langkah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebagai ancaman eksistensial terhadap upaya internasional selama puluhan tahun bagi warga Israel dan Palestina untuk membentuk dua negara secara berdampingan. Palestina, kata Shtayyeh, tidak akan terus menunggu kemerdekaan hanya untuk menghormati perjanjian sebelumnya yang dibuat dengan Israel jika ujungnya penghancuran melalui aneksasi. Dia juga tengah mengumpulkan tekanan diplomatik terhadap Israel dan menginginkan kekuatan dunia mengancam sanksi terhadap pemerintah Netanyahu.
"Apa yang kita inginkan adalah bahwa Israel harus merasakan tekanan," kata Shtayyeh pada konferensi pers yang diadakan oleh Asosiasi Pers Asing lokal di Ramallah pada Selasa, dilansir dari The Guardian, Rabu (9/6).
Para pemimpin Palestina telah menyatakan kewarganegaraan di masa lalu, termasuk Yasser Arafat pada 1988. Sementara pada 2012, Palestina memperoleh status negara pengamat PBB. Namun, dengan wilayah Palestina yang tersisa diduduki oleh Israel, dan tanpa adanya kesepakatan, maka belum ada pengakuan internasional penuh.
Shtayyeh sendiri adalah perdana menteri Otoritas Palestina, sebuah badan yang dibentuk pada 1994 yang dimaksudkan untuk menjadi pemerintah sementara pra-negara. "Buah-buah perdamaian tidak pernah benar-benar terwujud sejak penandatanganan perjanjian," kata dia.
Setiap pernyataan kenegaraan akan menjadi simbolis saat pasukan Israel mengendalikan wilayah Palestina. "Kami menunggu dan mendorong Israel untuk tidak menganeksasi. Jika Israel melakukannya setelah 1 Juli, kita akan beralih dari periode sementara Otoritas Palestina ke perwujudan negara di lapangan," ujarnya.
Manifestasi negara di lapangan, kata Shtayyeh, berarti bahwa akan ada dewan dasar dan deklarasi konstitusi. "Dan Palestina akan berada di perbatasan 1967, dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya. Dan kami akan meminta komunitas internasional untuk mengenali tanah ini. Di situlah kita berada," katanya.
Shtayyeh telah melakukan percakapan telepon pada pekan lalu dengan Menteri Inggris untuk Timur Tengah dan Afrika utara, James Cleverly. Dalam kesempatan itu, Shtayyeh meminta London untuk mengakui Palestina sebagai negara.
Mei lalu, Cleverly menyampaikan kepada parlemen, bahwa Inggris tidak akan mendukung aneksasi Israel atas bagian-bagian Tepi Barat karena itu akan membuat solusi dua negara lebih sulit untuk dicapai. Di sisi lain, Inggris belum mengakui negara Palestina.
Meski begitu Shtayyeh optimistis pemerintah Eropa akan mempertimbangkan untuk mengakui Palestina sebagai tanggapan terhadap aneksasi. "Saya pikir pemerintah Inggris dan semua pemerintah Eropa benar-benar memandang ini dengan sangat serius. Nada yang saya dengar juga sangat berbeda," katanya.
Juru bicara Kantor Luar Negeri Inggris mengatakan, Inggris akan mengakui negara Palestina di waktu yang tepat. "Inggris akan mengakui negara Palestina pada waktu yang kita pilih, dan ketika hal itu akan melayani tujuan perdamaian."