REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Parlemen negara bagian New York, Amerika Serikat (AS) resmi menyetujui pencabutan undang-undang yang merahasiakan catatan disiplin petugas atau aparat penegak hukum. Langkah itu dilakukan setelah gelombang demonstrasi besar-besaran yang terjadi pasca-kematian George Flyd, seorang warga keturunan Afrika di Minneapolis, Minnesota pada akhir Mei lalu.
Undang-undang yang memungkinkan seluruh polisi diawasi dengan ketat selama bertugas serta memastikan orang-orang yang ditahan atau ditangkap mendapatkan perhatian secara medis, termasuk kondisi mental mereka kemudian disahkan oleh Parlemen New York. Sejak tahun lalu, aturan itu telah diusulkan, tetapi baru diresmikan bersamaan dengan momentum aksi protes besar-besaran yang ada untuk menyuarakan dugaan rasisme di AS.
Demonstrasi di AS telah berlangsung meluassejak kematian Floyd pada 25 Mei lalu yang dinilai sebagai salah satu bentuk rasisme terburuk. Saat itu, ia didatangi dan ditangkap oleh sejumlah petugas kepolisian Minneapolis, Minnesota karena menggunakan uang 20 dolar palsu di sebuah toko.
Dalam sebuah rekaman video, setelah didatangi polisi, Floyd diborgol dan tidak memberontak sepanjang proses penangkapan tersebut. Kemudian pria berusia 46 tahun itu ditahan dengan posisi tiarap, lalu petugas memegangi badan dan salah satunya menahan bagian leher dengan lutut.
Di New York, banyak orang yang mengecam tindakan keras dan sewenang-wenang polisi terhadap warga kulit hitam. Bahkan, dalam menghadapi aksi protes, kekuatan berlebihan dinilai kerap terjadi.
Seperti pada Selasa (9/6) kemarin, seorang petugas polisi diduga melakukan tindakan keras kepada seorang demonstran. Kini, dengan adanya pencabutan undang-undang yang dinilai melindungi aparat penegak hukum tersebut, pengaduan terhadap petugas dapat diproses secara jelas, termasuk informasi mengenai catatan displin mereka dapat diakses oleh publik.
Gubernur New York Andrew Cuomo mengatakan mendukung reformasi hukum tersebut dan telah menandatangani pencabutan undang-undang. Momentum untuk mengakhiri undang-undang kerahasiaan mencapai puncaknya dalam beberapa hari terakhir ketika pawai memenuhi jalan-jalan di Brooklyn, Manhattan dan di lokasi lainnya untuk bersatu melawan pelanggaran yang dilakukan polisi, memperkuat seruan para pembela reformasi yang menghabiskan waktu bertahun-tahun mendorong perubahan.
"Ini bukan waktunya untuk bersukacita. Undang-undang itu telah ada selama lebih dari satu dekade dan kini dapat dicabut saat negara ini dilanda amarah," ujar Kevin Parker, seorang senator New York yang mewakili Brooklyn, dilansir India Today, Rabu (10/6).
Beberapa anggota keluarga warga New York yang meninggal dalam tahanan polisi juga berkumpul di Balai Kota New York untuk menyerukan tindakan dan membatalkan undang-undang menjaga kerahasiaan aparat penegak hukum. Constance Malcolm, ibu dari Ramarley Graham, seorang warga kulit hitam yang ditembak mati petugas kepolisian saat berada di kamar mandi apartemennya pada 2012 mengatakan sudah seharusnya tak ada rahasia untuk melindungi orang-orang yang berbuat sewenang-wenang.
"Kami menghancurkan tembok kerahasiaan yang telah melindungi para perwira di seluruh New York," kata Malcolm.