REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Negara-negara mayoritas Muslim yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menggelar konferensi luar biasa tingkat menteri luar negeri pada Rabu (10/6) menyikapi rencana aneksasi Tepi Barat oleh Israel. Dalam pernyataannya di konferensi virtual itu, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi meminta mobilisasi masif secara terpadu negara-negara OKI melawan aneksasi.
Mobilisasi tersebut menurutnya harus dilangsungkan secara internal maupun eksternal. “Suara kita harus bulat mencegah terjadinya aneksasi dan membuat kekuatan penjajah bertanggung jawab atas aksi ilegal mereka. Jika Israel akhirnya menjalankan aneksasi, negara-negara OKI yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel harus mengambil langkah-langkah diplomatik seturut resolusi-resolusi OKI,” ujar Menlu dalam konferensi luar biasa yang dimulai Rabu (10/6) petang tersebut.
Mobilisasi yang kedua harus dilakukan di berbagai forum global. “Di Majelis Umum PBB, OKI harus mengajukan resolusi menolak aneksasi. Di Dewan Keamanan PBB, OKI harus mendesak dewan mengambil langkah konkret terkait aneksasi. Di Dewan HAM PBB, pelanggaran HAM akibat aneksasi harus terus disuarakan. Selanjutnya, OKI juga harus memobilisasi dukungan negosiasi multilateral untuk mencapai solusi dua negara.
Menlu menyatakan, langkah Israel di tengah pandemi Covid-19 sangat tercela. Hal itu berpotensi menimbulkan penderitaan ganda bagi rakyat Palestina yang juga harus menghadapi pandemi. “Langkah itu mengguncang fondasi bangsa Palestina. Hal itu juga mengancam perdamaian dan stabilitas di regional dan di luarnya,” ujar Menlu.
Menurut Menlu, penjajahan de facto Israel terhadap tanah Palestina yang sedang berjalan sendirinya sudah tak bisa diterima. Dengan landasan itu, aneksasi formal jauh lebih tak bisa ditoleransi lagi karena melawan hukum internasional dan berbagai resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). “Langkah itu akan membunuh mimpi kita melihat negara Palestina yang berdaulat dan merdeka,” kata Menlu.
Aneksasi atau pencaplokan wilayah Tepi Barat merupakan bagian dari rencana perdamaian Timur Tengah atau "Kesepakatan Abad Ini" yang diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Januari lalu. Sebagai barter atas pengakuan Palestina sebagai negara berdeka yang berdaulat, AS menawarkan Yerusalem adalah ibu kota Israel yang tidak terbagi.
Selain itu, dalam proposal Trump, Israel akan mencaplok 30-40 persen tanah dari Tepi Barat, termasuk semua bagian Yerusalem Timur yang selama ini diimpikan Palestina sebagai ibu kota negara mereka saat nantinya merdeka. Sedangkan, wilayah Palestina yang kian sempit dalam rancangan itu tinggal berupa noktah-noktah yang dihubungkan oleh jembatan dan terowongan.
Secara sepihak, Perdan Menteri Benjamin Netanyahu yang kembali memimpin pada akhir Mei lalu bertekad mewujudkan rencana AS tersebut. Netanyahu mengatakan, Israel tidak akan melewatkan "peluang bersejarah" untuk memperluas kedaulatannya di Tepi Barat.
Retno mengatakan, ia telah mengirimkan surat kepada menteri-menteri luar negeri negara anggota Gerakan Nonblok, G-77, OKI, Uni Eropa, dan seluruh anggota Dewan Keamanan PBB guna menegaskan sikap Indonesia. “Sekali lagi, mari kita bekerja sama, bergandengan tangan sebagai organ terpadu untuk memobilisasi dukungan bagi Palestina … untuk menghentikan rencana aneksasi Israel yang tercela itu,” ujar Menlu.
Pimpinan Hamas Ismail Haniyyeh juga mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam surat tertanggal Jumat (5/6) pekan lalu itu, Haniyyeh meminta Jokowi mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mencegah aneksasi Tepi Barat oleh Israel.
"Hamas meminta kesediaan Anda untuk melakukan intervensi guna menangkal kebijakan kriminal aneksasi yang rasial oleh pihak Israel di Tepi Barat dan Lembah Yordan," tulis Haniyeh dalam surat itu. Ia mengatakan, Indonesia sebagai bagian dari umat Islam sedunia punya tanggung jawab untuk bersatu menolak kebijakan tersebut.
Hamas meminta Presiden Jokowi meningkatkan komunikasi dan menggerakkan negara-negara di regional dan organisasi internasional untuk menyatukan pandangan melawan aneksasi. Haniyyeh juga meminta Indonesia mendorong konferensi tingkat tinggi negara-negara mayoritas Muslim untuk menyikapi aneksasi Tepi Barat. "Umat Islam harus menciptakan jaringan politik, diplomatik, ekonomi, dan media untuk mengampanyekan hak-hak bangsa Palestina," kata dia.