REPUBLIKA.CO.ID, SANAA -- Presiden Suriah Bashar al Assad memberhentikan Perdana Menteri Imad Khamis dari jabatannya pada Kamis (12/6). Hal itu berdasarkan media pemerintah yang memberitakan tanpa menjelaskan alasan keputusan tiba-tiba di tengah situasi ekonomi negara yang sedang sulit.
Berita tersebut merujuk pada informasi yang termuat dalam keputusan presiden, yang menyebut Menteri Sumber Daya Air Hussein Arnous (67 tahun) direncanakan menjadi pengganti Khamis. Arnous sebelumnya sempat menjabat di beberapa pos pemerintahan yang berbeda, antara lain sebagai gubernur provinsi Deir Zor dekat perbatasan dengan Irak, juga provinsi Quneitra di wilayah selatan.
Saat ini, Suriah tengah mengalami gejolak krisis ekonomi, dengan nilai tukar mata uang yang merosot dalam beberapa hari terakhir sehingga lebih menyulitkan bagi masyarakat yang sehari-hari mesti berhadapan dengan situasi peperangan. Sepanjang 2019 saja, misalnya, Pound Suriah telah kehilangan lebih dari 80 persen nilainya, di tengah sanksi ekonomi dari AS dan Eropa serta pengaruh krisis keuangan di Lebanon.
Pemerintah Suriah menyalahkan sanksi-sanksi tersebut yang menyebabkan kesulitan semacam itu terjadi, di mana masyarakat sulit membeli makanan dan kebutuhan dasar karena harga yang melonjak. Sanksi lebih ketat dari AS yang disahkan pada Desember 2019 dan dikenal sebagai Caesar Act itu memberikan dampak secara langsung mulai bulan ini. Pakar ekonomi dan politisi menyebut hal tersebut akan lebih lagi menjerat pemerintahan Assad.
Dalam situasi sulit saat ini, ratusan masyarakat turun ke jalan di Kota Sweida pada pekan ini untuk berunjuk rasa terkait situasi yang memburuk dan menuntut presiden agar mundur.