REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Korea Utara (Korut) melihat Amerika Serikat (AS) mempertahankan kebijakan bermusuhan antarkedua negara. Kondisi itu membuat Korut menilai hanya sedikit manfaat mempertahankan hubungan pribadi antara pemimpin Kim Jong-un dan Presiden AS Donald Trump, Jumat (12/6).
Kantor berita resmi Korut KCNA menyatakan, kebijakan Washington membuktikan negara itu tetap menjadi ancaman jangka panjang bagi Pyongyang dan rakyatnya. Menurut Menteri Luar Negeri, Ri Son-gwon, Korut akan mengembangkan pasukan militer yang lebih andal untuk menghadapi ancaman tersebut.
Trump dan Kim saling melontarkan cacian dan ancaman selama 2017 ketika Korut membuat kemajuan besar dalam program nuklir dan misilnya. AS merespons dengan memimpin upaya internasional untuk memperketat sanksi terhadap negara tersebut.
Hubungan meningkat secara signifikan karena pertemuan Singapura pada Juni 2018. Momen itu pertama kali seorang presiden AS bertemu dengan seorang pemimpin Korut, tetapi hasil dari pertemuan itu tidak jelas.
Pertemuan kedua pada Februari 2019 di Vietnam gagal mencapai kesepakatan. Hal itu terjadi akibat konflik atas permintaan AS agar Korut sepenuhnya menyerahkan senjata nuklirnya dan Pyongyang menuntut segera pencabutan sanksi.
Ri mengatakan, dalam hal retropeksi, pemerintahan Trump tampaknya hanya berfokus pada mencetak poin-poin politik sambil berusaha untuk mengisolasi dan mencekik Korut. "Kami tidak akan pernah lagi memberikan paket lain kepada eksekutif AS untuk digunakan untuk pencapaian tanpa menerima pengembalian. Tidak ada yang lebih munafik daripada janji kosong," katanya.
Departemen Luar Negeri AS dan Gedung Putih tidak segera menanggapi permintaan komentar. Namun sehari sebelumnya, juru bicara Departemen Luar Negeri mengatakan kepada kantor berita Korea Selatan Yonhap, bahwa AS tetap berkomitmen untuk berdialog dengan Korut dan terbuka untuk pendekatan yang fleksibel untuk mencapai kesepakatan yang seimbang.
Ahli Korea di King's College London, Ramon Pacheco Pardo, mengatakan, pernyataan Ri menunjukkan Korut masih melihat semua opsi masih tersedia. Dia terbuka dengan proses diplomatik yang tepat hingga pengembangan lebih lanjut program nuklir.
"Korut terus membutuhkan kesepakatan yang layak lebih dari AS. Itu belum berubah," kata Pacheco Pardo di Twitter.