Sukses berkarir sebagai aktris, model dan penyanyi kenamaan di Indonesia, tak lantas membuat Sophia Latjuba lupa akan tempat kelahirannya di Jerman. Aktris yang tetap menawan di usia menuju 50 tahun dan penyuka yoga ini mengatakan, ia bahkan tak bisa memilih jika harus dihadapkan pada dua pilihan, antara Indonesia atau Jerman. Perempuan yang lahir di Berlin dan besar di Krefeld, Jerman, membeberkan alasan mengapa Jerman akan selalu menjadi "rumahnya”.
DW: Bagaimana keadaan keluarga yang tinggal di Jerman dan seperti apa komunikasi yang terjalin tengah pandemi COVID-19?
Sophia Latjuba: Sekarang keluarga yang tinggal di Jerman itu ibu, kalau bapak kan sudah almarhum. Jadi ibu, my uncle, terus my cousins, pokoknya semua yang dari ibu itu di Jerman. Thank goodness we have technology so we don't have a problem. My mom, she is a nurse, she's a medical technical assistant, so she knows what she's doing when it comes to things like this (pandemi COVID-19). My uncle orangnya OCD, jadi enggak perlu dikhawatirkan semuanya selalu dia bersihkan, he's germophobic, jadi enggak perlu dikhawatirkan itu. My cousins on the other hand, dia very discipline, tapi ya namanya juga bule enggak biasa pakai masker kan, kalau orang Asia kan selalu pakai masker. Yang aku khawatirkan bukan yang seniornya, tapi yang seusia akunya karena mereka lebih cuek.
Apa makna Jerman dan Indonesia buat Sophia?
Of course Jerman itu, it's home. Germany is home. Kalau saya balik ke Jerman I'm reminded of my childhood, of my teenage hood, the 80's, and I always need to go back cause that brings me down, it makes me ground again. Kalau di sini (Indonesia) kan hingar bingar. Kalau di sini I'm ‘Sophia Latjuba', there I'm just Sophia Latjuba, the cousin, the sister, the daughter, the neighbor, the friend. Kalau di sini, it's different. Tapi di sini (Indonesia) saya kerja. This is where I earn my money. My friends, my best friends are here, my family juga di sini. Jadi I appreciate both, I love both in a different way.
Apa pengalaman lucu yang tidak terlupakan ketika pertama kali ke Indonesia?
Pertama kali ke Indonesia, aku tidur di rumah eyang putri di Radio Dalam, Jakarta selatan, aku ingat banget. I saw a cicak, dan enggak ada yang warning soal cicak, bahwa di Indonesia kamu akan melihat cicak yang manjat dinding dan it's okay, it's not gonna attack you or something. Nobody warned me. That was a traumatic event. Sampai sekarang, I don't like cicak, cause I was screaming, I was crying, saya pikir saya ada di kebun binatang. Lalu pengalaman kedua, the first memory I have, it's the smell of nasi rebus. Kayaknya mereka baru masak nasi and then I came to the house, dan saya pikir ‘ini wangi apa ini?” Oh, nasi, I will never forget it. Yang ketiga, menangis karena saya ingin makan roti pakai butter. Dulu hanya ada margarin di sini. Jadi my father gave me that. ‘Ini kenapa begitu ya bentuknya kok kuning banget ya?' oh ini margarin okay. Pas coba nangis lagi ‘This is not butter'. Hanya tahan dua tahun kalau enggak salah, kita pindah ke sini (Indonesia), setelah itu nangis-nangis ke orangtua ‘I wanna go back to Germany'. Akhirnya aku dipindahkan lagi ke Jerman to live with my grandmother.
Sophia senang sekali baca buku, ada rencana menulis buku sendiri?
Aku mencintai buku dari kecil, karya-karya Hermann Hesse, Siddharta, I like German writers. I love to read, suka banget baca tapi kalau disuruh nulis enggak bisa. Tapi lagi proses sih. I'm gonna use the ghost writer to write, not my story but my family story. Dari ibu, dari nenek, karena mereka Holocaust survivor gitu, so I'm in the middle of thinking of writing a book about my grandmother that leads to me. Karena ceritanya menarik sekali, karena dia Holocaust survivor, concentration camps survivor, I think it's a good story.
*Wawancara untuk DW Indonesia dilakukan pada tanggal 21 Mei 2020 oleh Prita Kusumaputri dan telah diedit sesuai konteks. (pkp/hp)