REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Jumlah korban perdagangan manusia, yang menghubungi nomor darurat untuk menyelamatkan diri serta mencari tempat tinggal, meningkat selama karantina akibat pandemi Covid-19 di Amerika Serikat. Hal itu berdasarkan informasi dari grup aktivis anti-perdagangan manusia, Polaris, Senin (16/6).
Polaris menjelaskan dampak ekonomi dan sosial akibat pandemi menciptakan kondisi seseorang rentan menjadi korban perdagangan orang. Covid-19, mulai mewabah di AS pada pertengahan Maret, menutup sektor usaha serta menyebabkan jutaan warga kehilangan pekerjaan.
Kelompok aktivis itu mengatakan jumlah warga yang menghubungi nomor darurat untuk mencari tempat tinggal darurat meningkat dua kali lipat dari 29 orang pada Maret jadi 54 orang pada April. Polaris khawatir temuannya itu kemungkinan terkait dengan dampak wabah, tetapi kelompok itu tidak memastikan tingginya jumlah orang yang mencari tempat tinggal darurat itu disebabkan oleh Covid-19.
"Perdagangan orang untuk prostitusi dan kerja paksa tidak terjadi dalam ruang hampa, melainkan itu merupakan produk akhir dari rangkaian persoalan, pemiskinan dan kesenjangan sistemik, beberapa di antaranya," kata Nancy McGuireChoi, kepala eksekutif Polaris.
"Gejolak ekonomi, (menyebabkan) fakta banyak korban terjebak dengan pelaku kekerasan, kondisi sulit yang mereka hadapi, merupakan faktor yang menyebabkan perdagangan orang tumbuh subur," kata Choi.
Perekonomian dunia kemungkinan melambat sampai 3,2 persen tahun ini karena karantina di berbagai negara, demikian prediksi lebih dari 250 ekonom yang dihimpun dalam survei Reuters. Setidaknya, 400.000 orang di Amerika Serikat diyakini terjebak dalam praktik perbudakan modern, di antaranya termasuk pekerja prostitusi paksa dan buruh paksa, demikian keterangan Walk Free Foundation, aktivis hak asasi manusia di AS.
Sementara itu, Organisasi Buruh Internasional (ILO) memprediksi pada tingkatan global 16 juta orang kemungkinan terjebak dalam praktik kerja paksa dan perdagangan orang.