REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA - Perdana Menteri (PM) Australia Scott Morrison mengatakan, ada seorang peretas dari suatu negara yang berusaha meretas berbagai organisasi Australia selama berbulan-bulan. Peretas bahkan meningkatkan upayanya baru-baru ini.
Menurut Morrison, serangan-serangan dunia maya tersebut menargetkan semua tingkatan pemerintah, organisasi politik, penyedia layanan penting, dan operator infrastruktur kritis lainnya. "Kami tahu itu adalah aktor siber berbasis negara yang canggih karena skala dan sifat penargetan," katanya.
Morrison mengatakan, tidak banyak aktor negara yang dapat meluncurkan serangan semacam ini. Namun demikian, Australia tidak akan mengidentifikasi negara mana yang bertanggung jawab.
Menteri Pertahanan Australia Linda Reynolds menyarankan untuk tidak menunjukkan pelanggaran data pribadi skala besar dari serangan itu. Dia mendesak bisnis dan organisasi untuk memastikan semua server web atau e-mail diperbarui sepenuhnya dengan perangkat lunak terbaru dan penggunaan autentikasi multifaktor.
Salah satu sumber Pemerintah Australia menyebut deklarasi publik Morrison adalah upaya untuk mengangkat masalah ini dengan mereka yang dapat menjadi sasaran. Kepala badan intelijen dunia maya Australia mengatakan, penyelidikannya sejauh ini tidak menemukan bukti bahwa pelaku berusaha untuk mengganggu atau merusak sekali dalam jaringan host.
Morrison menuturkan, dia telah berbicara dengan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson tentang masalah ini, Kamis. Selain itu, rapat untuk sekutu lain telah dilakukan.
Pengungkapan Morrison muncul setelah Reuters melaporkan Canberra telah menentukan bahwa China bertanggung jawab atas serangan peretasan terhadap parlemen Australia pada Maret lalu. Australia memang tidak pernah secara terbuka mengidentifikasi sumber serangan itu. Sementara itu, China pun menyangkal bahwa negaranya merupakan penyebabnya.
Australia menjalin hubungan dengan mitra dagang terbesarnya, China, dengan mendorong penyelidikan internasional terhadap sumber dan penyebaran Covid-19 yang pertama kali muncul di Kota Wuhan di China tengah akhir tahun lalu.