REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Haider A Khan*
Krisis COVID-19 yang berkelanjutan telah mempersulit geopolitik Amerika Serikat. Geopolitik dalam krisis minyak adalah salah satu contoh yang menonjol.
Kesengsaraan ekonomi yang menyelimuti dunia, diperdalam oleh jatuhnya harga minyak, telah mempertajam perpecahan dalam elite penguasa Amerika Serikat (AS).
Mereka yang mendukung dan mendanai Presiden Donald Trump terutama perusahaan-perusahaan energi di dalam negeri AS tiba-tiba menghadapi risiko besar dari penurunan permintaan minyak dan gas.
Penurunan pasar yang tiba-tiba ini memaksa Whiting Petroleum mengajukan kebangkrutan. Juga, sudah ada laporan Chesapeake Energy bersiap melakukan langkah hal yang sama. Masih ada perusahaan lain yang akan mengikuti.
BACA JUGA: Mana Yang Benar: Ekonomi Islam atau Ekonomi Syariah?
Banyak dari perusahaan ini memproduksi minyak dengan cara "fracking" yang memang mahal dan mereka sudah terlilit utang sejak sebelum krisis COVID-19.
Dari tahun 2006 hingga 2014, 16 perusahaan minyak fracking publik telah mencatat memiliki utang lebih dari 80 miliar dolar AS.
Pada saat harga minyak tertekan sejak beberapa waktu ini, sebagian besar dari mereka cenderung menghadapi kebangkrutan. Seperti yang dilaporkan Quartz, "tidak satu pun dari 100 operasi fracking terbesar di negara ini dapat menghasilkan keuntungan."
Tidak mengherankan jika pemilik perusahaan-perusahaan ini memobilisasi aksi rasis Trump "Make America Great Again" (MAGA) dalam upaya putus asa untuk menyelamatkan diri.
Dewan Pertukaran Legislatif Amerika (didukung oleh pendukung utama Trump, keluarga Koch) dan Dana Kebebasan Michigan (terkait dengan pendukung Trump, keluarga DeVos) telah mendukung protes bersenjata di ibu kota negara bagian.
Mereka menuntut pembukaan kembali segera kegiatan ekonomi lokal, bahkan ketika ribuan orang terkena risiko infeksi dan jumlah kematian akibat COVID-19 meningkat setiap hari. Kini telah melewati angka 100.000.
Untuk raksasa berkantung tebal seperti ExxonMobil lebih siap menunggu harga yang lebih murah daripada perusahaan domestik yang lebih kecil. Raksasa ini masih dapat menunggu sementara mereka menyaksikan lawan-lawan domestik mereka layu dan mati.
Bahkan, dari sudut pandang realis neoklasik dalam hubungan internasional, sejumlah politisi neoliberal --di antaranya mantan kandidat presiden dari Partai Demokrat Hillary Clinton-- sudah bersekutu dengan neocons dalam kebijakan luar negeri. Bahkan mereka merencanakan untuk berkonfrontasi dengan skala yang lebih luas dengan rival global mereka, China dan mungkin Rusia.
Dengan demikian, ekonomi politik minyak semakin memperumit geopolitik yang sudah tidak stabil ini. Jelas, penurunan harga yang berlangsung sudah lama dan sekarang didorong pandemi, adalah akar dari krisis minyak saat ini. Tetapi virus ini tidak semata-mata untuk disalahkan.
Pada awal Maret, ketika ekonomi global masih berjalan pada kecepatan "normal", Arab Saudi dan Rusia meluncurkan perang harga minyak yang membanjiri pasar dengan jutaan barel minyak tambahan.
Senator Republik Ted Cruz menyarankan Arab Saudi, mitra AS yang dulu bisa diandalkan, sengaja mendorong produsen minyak serpih AS keluar dari bisnis ini. Saudi sepertinya memang tidak suka dengan bisnis perusahaan minyak fracking ini.
Tidak diragukan lagi, hilangnya pengaruh kepemimpinan AS di Timur Tengah, termasuk terhadap sekutu dekat mereka seperti Arab Saudi dan Israel, makin dipercepat oleh pemerintahan Trump yang isolasionis dan tidak kompeten.
Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah prospek bahwa penurunan power ini mungkin merupakan tanda ketidakstabilan geopolitik lebih lanjut yang akan datang.
Ketika China dan Rusia berupaya mengisi kekosongan penurunan geopolitik AS ini, kawasan Timur Tengah menjadi semakin tidak stabil dari sebelumnya.
Dua persepsi utama yaitu, yang dirasakan oleh perusahaan kebijakan luar negeri AS, penantang dominasi AS dapat muncul dari krisis ini dan lebih kuat dari sebelumnya.
Sanksi AS terhadap minyak Rusia memaksa negeri itu mendiversifikasi ekonominya. China, importir minyak mentah, jelas memperoleh keuntungan secara ekonomi dari harga minyak dan gas yang lebih rendah ini.
Lebih jauh, China telah berevolusi setidaknya sebagian menjadi bentuk kapitalisme negara. Karena itu, pemerintah China secara aktif mendukung perusahaan minyak nasionalnya melakukan ekspansi karena memiliki kepentingan strategis.
Dikombinasikan dengan masalah kesehatan dan bencana ekonomi akibat pandemi corona, konflik terakhir tentang minyak ini dapat mempercepat penurunan ekonomi dan geopolitik AS. Ini akan mengarah kepada perilaku yang tidak terduga oleh kepemimpinan AS.
Sehubungan dengan China, beberapa perilaku agresif militer AS dipamerkan. Pada bulan April, AS mengirim kapal perusak berpeluru kendali USS Barry untuk berlayar di dekat Kepulauan Paracel, sebuah kepulauan yang disengketakan di Laut China Selatan yang diperebutkan.
Tidak lama kemudian, AS menerbangkan dua pesawat pembom Angkatan Udara B-1B di atas Laut China Selatan dalam unjuk kekuatan yang provokatif.
Saya tidak memprediksi terjadinya konfrontasi yang lebih besar dalam waktu dekat. Apakah ketegangan-ketegangan di regional termasuk selat Hormuz, ketegangan antara Iran dan tetangga Arabnya, akan menyebabkan perang regional masih jauh dari pasti.
Tetapi dengan meningkatnya gesekan AS-China, aliansi yang berubah, dan keberpihakan geopolitik baru, risiko konfrontasi regional yang keras kemungkinan besar akan meningkat.
BACA JUGA: Turki Mulai Pakai Mata Uang Yuan China
*Haider A Khan adalah profesor ekonomi di Josef Korbel School of International Studies, University of Denver. Ulasan ini dimuat di media Arab Aljazeera.
*Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan sikap editorial Republika