REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS— Meletusnya protes anti-rezim pada awal 2011 memicu reaksi kontradiktif dari berbagai entitas yang membentuk lanskap keagamaan Sunni di Damaskus.
Tidak hanya perpecahan yang muncul antara mereka yang mendukung rezim dan mereka yang mendukung para pemrotes, tetapi, dalam kasus-kasus tertentu, pandangan-pandangan tentang kepemimpinan dan pangkat satu lembaga tunggal berbeda.
Peneliti urusan agama Suriah, Laila Rifai, menjelaskan hal tersebut dalam sebuah kajian terbarunya berjudul Pembentukan Agama Sunni di Damaskus: Ketika Unifikasi Menciptakan Divisi (The Sunni Religious Establishment of Damascus: When Unification Creates Division) yang dikutip di Carnegie, Ahad (21/6).
"Selain itu, di antara entitas-entitas yang mendukung tuntutan para pemrotes, partisipasi anggota mereka dalam demonstrasi juga sangat bervariasi," tulis Laila Rifai.
Terpecahnya dukungan, membuat organisasi Muslim di Suriah terbelah menjadi dua kubu. Deklarasian untuk melawan pemerintah terus bermunculan dari berbagai organisasi, kelompok bahkan perorangan.
Jalan yang diambil rezim saat itu hanya memerintahkan pasukan keamanan mereka untuk menangkap, memenjarakan, menyiksa bahkan membunuh para pemberontak dan seluruh pendukung mereka.
Tindakan pemerintah ini juga melahirkan dua implikasi bagi agama Sunni di Damaskus. Saat ulama-ulama terkemuka yang diasingkan dan tidak diketahui keberadaannya, aktor baru mulai bermunculan dan merebut panggung, dan menjadi boneka pemerintah.
"Perkembangan seperti itu cocok dengan strategi manipulasi rezim pada tingkat kelembagaan. Dalam kasus-kasus tertentu, pemerintah mengambil kesempatan untuk memfasilitasi pengambilalihan besar-besaran dari institusi yang mereka anggap bermasalah, dan menyerahkannya kepada orang kepercayaan mereka," ujar Laila Rifai.
Inilah yang terjadi pada Kelompok Zayd, yang sebelumnya menyatakan dukungan bagi para pengunjuk rasa. Pemerintah menanggapinya dengan menekan kepemimpinannya dan kemudian memungkinkan Institut Islam Fatah, yang saat itu pro pemerintah, untuk menegaskan kontrol atas beberapa mimbar dan sebagian besar administrasi.
Dalam nada yang sama, Hassan Awwad, seorang dosen Institut Islam Fatah diangkat menjadi pengkhutbah di Masjid Rifai, salah satu masjid terbesar di ibukota yang sebelumnya selalu berafiliasi dengan Zayd Group.
Selain merelokasi pengkhutbah pro-oposisi dan mengangkat tokoh-tokoh pro-rezim, posisi Sunni sebagai bagian dari aparat pemerintahan juga membuatnya semakin merefleksikan karakter dan orientasi rezim.
"Rezim mempercepat proses nasionalisasi lembaga-lembaga keagamaan dan badan-badan lainnya. Dengan cara ini, dia menggunakan konflik Suriah yang meningkat sebagai dalih untuk mengeluarkan undang-undang dan mengeluarkan keputusan yang membawa semua entitas Islam swasta di bawah kendali Kementerian Wakaf Agama," jelas Laila Rifai.
Tahun 2011, memang menjadi tahun penuh kengerian, di mana aksi protes dan pemberontakan untuk menarik turun Presiden Suriah, Bashar al-Assad, berubah menjadi perang besar yang menyebabkan lebih dari 340 ribu orang tewas. Tahun itu bahkan memperoleh julukan khusus sebagai masa kebangkitan Arab (Arab Spring).
Laila Rifai, menjelaskan citra agama Muslim Sunni di Damaskus lebih diakui. Ironisnya, rezim telah terbentuk dan menegaskan segala kontrol, termasuk masalah keagamaan di Damaskus yang saat itu memang sudah bermasalah.
"Selama beberapa dekade pertama berkuasanya Partai Baath di Suriah, sejak 1963, rezim terus menghalangi segala upaya pendirian agama yang berkaitan dengan agama Sunni, sebaliknya, mereka justru kerap menghadapkan lembaga-lembaga keagamaan untuk saling menyerang satu sama lain," ujar dia.
Titik balik terjadi pada 2008, saat Islam Sunni mendapatkan posisi penting di Damaskus, bahkan akses istimewa di Suriah. Hal itu berlanjut dengan banyaknya pembersihan beberapa lembaga Islam yang dianggap tidak patuh. Banyaknya penghapusan lembaga keagamaan ini melahirkan Syrian Islamic Council (SIC), yang kini menjadi organisasi keagamaan Suriah terbesar.
Setelah melibatkan Islam Sunni dalam pemerintah, Damaskus berhasil dipenuhi banyak entitas Islam, mulai dari masjid, lembaga pendidikan Islam, dan badan amal. Namun usaha ini harus berakhir sia-sia akibat semakin tipisnya legitimasi rakyat.
"Di sisi lain, organisasi-organisasi Islam, yang telah diberantas karena dianggap membelot, justru menunjukkan keberhasilan dan memanen pengakuan internasional. Pengakuan ini membuat ulama-ulama SIC mulai meroket dan menerima banyak pengakuan dan dipandang sebagai tokoh yang disegani," jelas Laila. Benarkah demikian?