REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengaku menunda pemberian sanksi yang lebih keras terhadap pejabat China yang dituduh melakukan tindakan keras terhadap minoritas Muslim Uighur. Keputusan ini mempertimbangkan rasa khawatir tindakan tersebut akan mengganggu negosiasi perdagangan dengan Beijing, Ahad (21/6).
"Ya, kami berada di tengah-tengah kesepakatan perdagangan utama dan saya membuat banyak potensi pembelian senilai 250 miliar dolar AS," kata Trump dikutip dari laporan Axios saat ditanya mengapa tidak memberlakukan sanksi keuangan terhadap pejabat Partai Komunis yang terkait dengan penindasan di wilayah Xinjiang.
Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan lebih dari 1 juta Muslim telah ditahan dalam kamp-kamp di sana. Departemen Luar Negeri AS menuduh China menundukkan dan menyiksa orang Muslim di Xinjiang. China membantah melakukan penganiayaan dan mengatakan kamp-kamp itu menyediakan pelatihan kejuruan serta membantu memerangi ekstremisme.
Para pejabat AS sebelumnya mengatakan kepada Reuters, sejak akhir 2018 telah mempertimbangkan sanksi terhadap para pejabat China atas Xinjiang. Namun, mereka menahan diri karena pertimbangan perdagangan dan diplomatik.
Dengan kesepakatan perdagangan Fase 1 yang dinegosiasikan tahun 2019 yang mulai berlaku pada Februari, kesepakatan itu menyatakan China setuju membeli setidaknya 200 miliar dolar AS dalam barang dan jasa AS tambahan selama dua tahun.
AS sejak tahun lalu memberlakukan pembatasan impor pada beberapa perusahaan China dan larangan visa pada pejabat China yang tidak disebutkan namanya terkait dengan Xinjiang. Setelah itu, AS belum memberlakukan sanksi keuangan yang lebih keras.
Trump menandatangani undang-undang yang menyerukan sanksi atas Xinjiang pada pekan lalu dan melahirkan ancaman pembalasan dari China. Namun, Trump bersikeras dia memiliki keleluasaan untuk memutuskan penerapan tindakan apa pun terhadap Beijing.