Akhir pekan lalu, sejumlah besar penggemar K-pop dan pengguna TikTok menginterupsi rangkaian kampanye Donald Trump di Amerika Serikat. Mereka memesan tiket tanpa adanya niat untuk menghadiri acara itu. Aksi ini mengakibatkan gedung kampanye kosong dan sejumlah media AS melaporkan bahwa Presiden Trump merasa geram.
Sebelum berlangsungnya acara kampanye di Tulsa, Oklahoma pada Sabtu (20/06), ketua kampanye untuk tim Donald Trump mengatakan di Twitter bahwa ada lebih dari satu juta tiket telah dipesan. Tetapi nyatanya menurut pemadam kebakaran setempat, hanya 6.200 orang yang datang.
Posting yang viral di TikTok dan Twitter mengungkapkan bahwa adanya rencana pemesanan tiket oleh para penggemar K-pop dan telah berhasil membeli ratusan ribu tiket.
Salah satu video yang beredar terlihat meminta para penggemar grup K-pop BTS, yang merupakan salah satu band paling populer di dunia dengan lebih dari 21 juta pengikut di Twitter, untuk berpartisipasi dalam rencana ini.
"Oh tidak, saya mendaftar hadir di kampanye Trump, dan saya tidak bisa pergi," kata seorang wanita yang terbatuk dengan sarkastik di sebuah video TikTok.
Atas kejadian ini, manajer kampanye Trump, Brad Parscale, lantas menyalahkan "demonstran radikal" karena telah "ikut campur" dalam kegiatan pemilu. Namun Alexandria Ocasio-Cortez, 30, anggota kongres berhaluan kiri dari New York, mengatakan: "Anda baru saja dikerjai oleh para remaja di TikTok."
Basis penggemar sadar kondisi sosial
Meskipun tampaknya sulit memastikan dampak ajakan viral di TikTok pada minimnya jumlah kehadiran publik di kampanye Trump, aksi tersebut menyoroti tradisi penggemar K-pop sebagai para penggemar yang terlibat di bidang yang berkaitan dengan hal politis.
Dalam sebulan terakhir, penggemar genre pop asal Korea Selatan yang dominan secara global ini telah mengkooptasi tagar #WhiteLivesMatter. Mereka membanjiri Twitter dengan berbagai hal terkait K-pop untuk menghilangkan tweet rasis dari peredaran.
"K-pop memiliki budaya bertanggung jawab," kata CedarBough Saeji, seorang pakar akademik dari Indiana University yang secara kontinyu mengamati genre tersebut.
"Penggemar K-pop pada umumnya adalah orang-orang yang berwawasan luas, sadar sosial dan K-pop di Amerika Serikat sangat didukung oleh orang-orang kulit berwarna, oleh orang-orang yang diidentifikasi sebagai LGBTQ," ujar Saeji.
Para superstar K-pop, yang dikenal sebagai idols, diharapkan menjadi panutan. Mereka juga sering menginspirasi para penggemar untuk lebih peduli. Saat para penggemar mengirimi hadiah ke idola favorit mereka, banyak juga bintang yang meminta hadiah-hadiah tersebut dikirimkan ke badan amal.
Di waktu lain, ketika grup BTS menyumbangkan dana sebesar 1 juta dolar untuk gerakan Black Lives Matter, para penggemar mendirikan sebuah badan amal yang dikenal dengan nama One in An ARMY dan mengumpulkan dana 1 juta dolar lagi untuk bisa mengimbangi dana BTS.
"Lagu-lagu BTS telah berperan dalam memotivasi kami untuk percaya diri, untuk bersikap baik kepada orang lain, dan untuk turut membantu orang lain," kata Dawnica Nadora, seorang sukarelawan berusia 27 tahun.
Kekuatan yang tidak bisa diremehkan
"K-pop menarik orang-orang yang suka jenis musik ini tetapi juga yang ingin membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik," ujar Saeji.
Sikap sadar sosial, ditambah dengan pengetahuan yang mumpuni seputar internet, membuat para penggemar K-pop menjadi kekuatan besar. "Para penggemar online setiap saat ... Para organizer K-pop utamanya aktif di Twitter," kata Saeji.
Ia mengatakan pemahaman penggemar tentang algoritma internet membuat basis penggemar K-pop menjadi kelompok yang kuat dalam hal pengorganisasian aktitivas online. Pada tahun 2019, tagar #KpopTwitter bahkan mencatatkan rekor 6,1 miliar cuitan.
"Kami sangat beruntung bahwa ARMY (badan amal oleh penggemar K-pop) saling mendukung, meski sering kali berjarak ribuan mil dari satu sama lain," kata sukarelawan yang juga penggemar BTS, Nadora. Ia tidak menggunakan nama aslinya.
"Sebagian besar dari kami belum pernah bertemu secara langsung, tetapi yang membuat kami dapat bekerja sebagai satu kesatuan adalah bahwa kami saling menghormati, dan saling membantu untuk bisa menjadi lebih baik."
Bukan sekadar lelucon
Meski beberapa analis politik mengatakan bahwa upaya viral untuk mengerjai kampanye Trump sebagai sebuah lelucon, sejumlah komentator termasuk Saeji mengatakan bahwa tindakan para fans itu bisa dimaknai lebih jauh lagi.
"Mereka merusak semua data yang sedang dikumpulkan oleh tim kampanye Trump," katanya. "Mereka pada dasarnya menunjukkan kepada tim kampanye bahwa Anda tidak akan bisa mempercayai angka-angka ini di masa depan."
Saeji juga mengatakan tindakan itu memberikan bukti online kepada pemuda tentang pentingnya bertindak dan memicu terjadinya perubahan.
"Jika mereka percaya mereka dapat membuat perubahan, mereka juga akan percaya bahwa (terlibat dalam) pemungutan suara akan bermanfaat."
ae/y (AFP)