REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Korea Utara (Korut) mengatakan, Kim Jong-un memutuskan untuk menunda pembalasan militer yang direncanakan terhadap Korea Selatan (Korsel), Rabu (24/6). Keputusan itu hasil diskusi yang dilakukan oleh para petinggi dalam membahas pencegahan perang terjadi.
Laporan kantor berita Korut, KCNA, menyatakan, Kim memimpin langsung pertemuan Komisi Militer Pusat Partai Buruh yang dilakukan secara virtual pada Selasa (23/6). Pertemuan itu memutuskan untuk menunda rencana aksi militer terhadap Korsel yang diajukan oleh para pemimpin militer.
Pekan lalu, Korut menyatakan pemutusan hubungan dengan Korsel dengan menghancurkan kantor penghubung antar-Korea di wilayahnya. Setelah itu, muncul ancaman tindakan militer kepada Seoul karena kurangnya kemajuan dalam kerja sama bilateral dan kekecewaan terhadap aktivis yang melayangkan selebaran anti-Pyongyang ke wilayah berbatasan.
Juru bicara Kementerian Unifikasi Korsel, Yoh Sang-key, mengatakan, Seoul sedang meninjau dengan saksama laporan tentang keputusan terbaru dari Korut. Belum ada komentar lebih lanjut menanggapi pertemuan dan keputusan tersebut.
Tapi, analis dari Institute for Far Eastern Studies, Seoul, Kim Dong-yub, mengatakan, kemungkinan Korut sedang menunggu tindakan lebih lanjut dari negara tetangganya. Upaya ini yang akan menyelamatkan ikatan daripada melunakkan sikapnya terhadap saingannya.
"Yang jelas, Korut mengatakan (aksi militer) ditunda, tidak dibatalkan," kata mantan pejabat militer Korsel yang berpartisipasi dalam negosiasi militer antar-Korea.
Profesor di Universitas Ewha di Seoul, Leif-Eric Easley, mengatakan, Korut akan mencari sesuatu yang utama dari Korsel. Kim mungkin melihat komitmen untuk melanjutkan operasi di pabrik bersama yang ditutup di Kaesong, yang merupakan tempat kantor penghubung itu berada.
Bisa juga Korut memulai kembali tur ke resor Gunung Diamond Utara. Dua kegiatan itu telah dilarang oleh sanksi internasional atas program senjata nuklir Pyongyang.
"Tapi Korut hampir pasti akan terus meningkatkan apa yang disebut sebagai 'pencegah'. Selama rezim Kim menolak untuk melakukan denuklirisasi, kemungkinan akan menggunakan Seoul sebagai kambing hitam untuk modernisasi militer dan politik domestik dari perjuangan ekonomi setelah gagal memenangkan bantuan sanksi," ujar Easley.
Korut memiliki sejarah menekan Korsel ketika gagal mendapatkan hal yang diinginkannya dari Amerika Serikat (AS). Langkah-langkah Korut baru-baru ini terjadi setelah berbulan-bulan merasa frustrasi atas keengganan Seoul menentang sanksi yang dipimpin AS dan memulai kembali proyek-proyek ekonomi antar-Korea yang akan menghidupkan kembali perekonomiannya yang hancur.
Negosiasi nuklir antara Pyongyang dan Washington sebagian besar macet setelah pertemuan Kim yang kedua dengan Presiden AS Donald Trump tahun lalu di Vietnam. Saat itu, AS menolak tuntutan Korut untuk melepaskan sanksi dengan imbalan sebagian melepaskan kemampuan nuklir.