Kamis 25 Jun 2020 17:38 WIB

Deklarasi Perang Mesir di Libya, el-Sissi Mau Lawan Erdogan?

Libya menyebut Mesir membunyikan deklarasi perang ke pemerintah sah Libya.

Rep: Sabah Daily/ Red: Elba Damhuri
Presiden Mesir Jenderal Abdel-Fattah el-Sissi
Foto: AP/Alexander Zemlianichenko
Presiden Mesir Jenderal Abdel-Fattah el-Sissi

REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Burhanettin Duran*

Saat tokoh apatis Libya, Jenderal Khalifa Haftar, semakin lemah posisinya, negara-negara sponsor sang jenderal dan milisi Haftar mulai berteriak lebih keras. 

Mereka membangun pernyataan kemarahan mulai dari Yunani, Prancis, hingga Mesir yang baru-baru ini mencoba bermain-main gertakan kepada Pemerintah Libya yang didukung Turki. 

Presiden Abdel-Fattah el-Sissi menyatakan serangan ke Sirte dan Jufra sebagai "garis merah" untuk Kairo dan mengancam akan "campur tangan langsung" di Libya.

photo
Tentara Libya merayakan kemenangan setelah merebut kota Tarhuna dari milisi pemberontak Khalifa Haftar di barat Libya pada 5 Juni 2020. ( Hazem Turkia - Anadolu Agency ) - (Anadolu Agency)

El-Sissi melegitimasi intervensinya ini dengan mengacu pada klausul bela diri Piagam PBB dan Dewan Perwakilan Rakyat di Tobruk dan suku-suku lokal. Ia mengancam akan meningkatkan perang proxy-nya dengan menjanjikan senjata dan pelatihan kepada warga Libya. 

Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) bergegas membantu el-Sissi. Karena gagal melibatkan Mesir dalam perang saudara Yaman, kedua negara itu menekan Kairo agar campur tangan di Libya. Padahal Mesir sedang dalam masalah ekonomi dalam negeri yang serius.

El-Sissi cenderung tunduk pada tekanan itu yang berisiko menaikkan eskalasi yang berbahaya. Terhadap kepentingan negaranya sendiri, ia berpihak pada Siprus Yunani dan Yunani mengenai batas-batas laut di Mediterania Timur, dibanding Turki dan Libya.

Setelah menyerahkan dua pulau Laut Merah ke Arab Saudi, Kairo sekarang gagal menghentikan Ethiopia dari membangun Dam Renaissance. Tidak dapat memastikan keamanan di Semenanjung Sinai, el-Sissi mengancam mengerahkan tentara Mesir untuk bertarung di luar negeri.

photo
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (kanan) bertemu dengan Perdana Menteri Libya Fayez al-Sarraj (kiri) di Komplek Kepresidenan Ankara, Turki 4 Juni 2020. (TUR PRESIDENCY/MURAT CETINMUHURDAR - Anadolu Agency) - (Anadolu Agency)

Tampaknya penguasa Mesir ini telah melupakan pelajaran memalukan dari Gamal Abdel Nasser di Yaman. Ekonomi Mesir hancur berantakan saat Gamal mencoba bermain-main di Yaman.

Mayoritas pengamat percaya Mesir tidak akan berani melakukan intervensi langsung, yang itu hanya akan melumpuhkan ekonomi yang sudah bermasalah dan memicu ketidakstabilan domestik. 

Sebaliknya, mereka mengatakan el-Sissi mencari langkah diplomatik dan cara politik yang baru. Dalam hal ini, ia tampaknya berpikir bahwa Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) Libya, yang tidak menyetujui Deklarasi Kairo, akan tunduk pada ancaman.

Pada saat yang sama, penguasa Mesir berusaha untuk "menghalangi" Turki, sosok utama pendukung GNA. Namun Tripoli memberikan respons yang jernih terhadap ancaman el-Sissi. 

Libya memperingatkan "garis merah" Mesir itu merupakan deklarasi perang. Mesir tak merespons. Demikian juga Ankara tidak menanggapi ancaman el-Sissi dengan serius.

Setelah berhasil mengelola ketegangan dengan AS dan Rusia di Suriah, tidak masuk akal bagi Turki meladeni ancaman el-Sissi. Turki sangat yakin el-Sissi tidak mungkin mendapatkan dukungan bahkan di antara rakyat Mesir.

Intervensi Mesir hanya akan memicu ketegangan dengan tetangga baratnya. Jika Kairo mengambil tindakan, Aljazair kemungkinan akan meninggalkan kebijakan netralitasnya dan secara aktif mendukung pemerintah Libya. 

Demikian juga, Turki, yang telah diundang ke Libya oleh otoritas resmi negara itu, harus meningkatkan peran dan kuantitas militernya di sana. Kairo mestinya melihat kegagalan Rusia dan negara-negara Arab lainnya di Libya.

Turki mengungguli semua pemangku kepentingan lainnya dengan dibuatnya dua perjanjian dengan pemerintah Libya yang sah pada November 2019. GNA kini melihat jumlah pendukung Haftar yang makin sedikit hanya berdampak kecil bagi terciptanya konflik baru.

Kunjungan terakhir para pejabat senior Turki ke Tripoli juga menunjukkan bahwa meningkatkan hubungan bilateral dengan Libya adalah prioritas kebijakan luar negeri utama bagi Turki.

Jadi, apa yang diinginkan el-Sissi? 

Beberapa pengamat percaya bahwa penguasa Mesir itu sedang mencari kue di Libya terutama di bagian barat dan timur. Yang lain mengatakan jika Mesir prihatin setelah Moskow menandatangani pembebasan Sirte kepada GNA. 

Namun yang lain berpendapat, el-Sissi hanya memperkuat tangan Rusia dalam negosiasi dengan Turki, dan bermaksud mencegah Washington bekerja sama dengan Ankara.

Dengan satu atau lain cara, situasi di Sirte dan Jufra, yang mengendalikan minyak, akan menentukan keseimbangan kekuatan di Libya. Meskipun GNA mengendalikan ladang minyak el-Sharara, yang menyumbang 30% dari minyak Libya, cadangan yang tersisa semuanya ada di Libya timur.

Untuk mencegah pemisahan Libya menjadi bagian timur, barat dan selatan, Haftar harus dikecualikan dari negosiasi dan pemerintah negara yang sah harus mengendalikan semua minyak. 

BACA JUGA: Erdogan dan Turki yang Mencoba Menguasai Negara-Negara Arab

Permintaan GNA untuk pengembalian ke perbatasan April 2019 adalah sah. Solusinya, bagaimanapun, harus bertumpu pada perjanjian politik 2015.

Pembebasan Sirte dan Jufra akan mencegah orang-orang timur menyerang pasukan pemerintah dan memfasilitasi gencatan senjata dalam transisi politik yang langgeng.

BACA JUGA: Hagia Sophia akan Menjadi Masjid, Pendeta Ortodoks Turki Ini Terguncang

 

sumber : Sabah Daily
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement