Satuan antiteror militer Irak menggerebek markas sebuah milisi bersenjata yang didanai Iran di selatan ibu kota Baghdad, Kamis (25/6) tengah malam. Menurut dua pejabat pemerintah, aparat militer mengamankan sejumlah roket dan menahan tiga komandan milisi.
Kata’ib Hezbollah diduga terlibat dalam penembakan roket ke dekat gedung Kedutaan Besar AS dan sejumlah gedung lain yang digunakan militer AS. Serangan itu dilancarkan sebagai reaksi atas pembunuhan pemimpinnya, Abu Mahdi al-Muhandis.
Perdana Menteri Irak, Mustafa al-Kadhimi, sebelumnya berjanji akan bertindak tegas terhadap organisasi bersenjata yang menyerang aset Amerika Serikat di Irak. Penggerebekan terhadap milisi bersenjata Kata’ib Hezbollah yang didukung Iran menandakan keseriusan pemerintah di Baghdad.
Salah seorang pejabat di Baghdad menyebutkan kepada kantor berita Reuters, salah seorang dari tiga komandan Kata’ib Hezbollah yang ditangkap berkewarganegaraan Iran.
Operasi antiteror di Baghdad itu dilakukan seusai Kementerian Luar Negeri AS menuduh Iran menyalurkan dukungan bagi kelompok teror di kawasan, dalam laporan tahunan tentang terorisme yang dipublikasikan Rabu (24/6) silam.
Kemunduran bagi ekspansi Iran
“Rejim Iran dan proksinya masih merencanakan dan melancarkan serangan teror dalam skala global,” bunyi laporan kemenlu AS tersebut. “Rejim ini terlibat secara langsung merencanakan aksi teror melalui Garda Revolusi serta Kementerian Keamanan dan Intelijen, termasuk aksi teror di Amerika Utara dan Selatan, Eropa, Timur Tengah, Asia dan Afrika.”
Laporan itu juga mencatat sejumlah pukulan telak yang berhasil dibukukan terhadap pengaruh Iran di Timur Tengah. Pembunuhan terhadap Qassem Suleimani yang bertanggungjawab membangun jejaring kekuatan proksi di Yaman, Suriah dan Irak, termasuk yang paling menyita perhatian dunia.
AS juga mengklaim embargo ekonomi terhadap Garda Revolusi Iran dan Hezbollah di Libanon berhasil menghadang ekspansi Teheran di kawasan.
Namun upaya teranyar Washington menciutkan pengaruh Iran di Dewan Keamanan PBB menghadapi perlawanan dari Cina dan Rusia. AS mengajukan resolusi untuk mengaktifkan klausul “snap back” di dalam Perjanjian Nuklir Iran untuk memperpanjang “embargo senjata untuk waktu yang tidak terbatas.”
Simalakama embargo senjata
Larangan perdagangan peralatan militer terhadap Iran sedianya berakhir Oktober mendatang. Pencabutan embargo senjata merupakan salah satu komitmen DK PBB dan Uni Eropa dalam Perjanjian Nuklir 2015 (JCPoA). Kelonggaran tersebut diberikan paling akhir, setelah Teheran memenuhi semua komitmennya melucuti sendiri fasilitas senjata nuklir miliknya.
Pemerintah Teheran, menurut Duta Besar Iran di PBB Majid Ravanchi, bersikeras agar butir-butir perjanjian dipenuhi secara utuh. Jika tidak, kata dia, “Iran tidak akan lagi bisa dikekang. Dan semua opsi menjadi terbuka.”
Ironisnya hal ini diklaim menjadi kekhawatiran utama pemerintah AS jika embargo senjata dibiarkan berakhir. “Iran akan mampu membeli sistem persenjataan canggih dan menjadi pemasok senjata pilihan teroris dan rejim otoriter di seluruh dunia,” kata Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, “ini tidak bisa diterima,” imbuhnya, Rabu (24/6).
Ravanchi berdalih, Iran dan kebanyakan negara Dewan Keamanan PBB meyakini AS tidak lagi berwenang mencampuri Perjanjian Nuklir lantaran sudah mencabut dukungannya.
“Kami yakin anggota Dewan Keamanan tidak akan mampu mencerna rancangan resolusi yang diajukan AS,” kata dia, antara lain merujuk pada komentar Duta Besar Rusia Vassily Nebenzia yang menyebut usulan Washington “konyol.”
“Jadi kami yakini rancangan resolusi ini akan gagal,” pungkas Ravanchi.
BACA JUGA: Tiga Faktor Pendorong Gerak Cepat Israel Caplok Tepi Barat Palestina