REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Polisi Hong Kong menangkap setidaknya 53 orang yang melakukan unjuk rasa untuk menuntut Undang-Undang Keamanan pada Ahad (28/6). Protes yang berawal damai itu berubah menjadi lebih panas dan berakhir dengan bentrokan.
Polisi antihuru-hara bersenjata hadir ketika kerumunan beberapa ratus orang pindah dari Jordan ke Mong Kok di distrik Kowloon. Unjuk rasa itu digelar sebagai protes diam-diam terhadap hukum yang direncanakan oleh pemerintah China.
Tapi, nyanyian dan slogan-slogan yang diteriakkan ke arah polisi berujung dengan bentrokan di Mong Kok. Kondisi itu membuat polisi menggunakan semprotan merica untuk membubarkan kerumunan.
Polisi Hong Kong mengatakan di Facebook bahwa 53 orang telah ditangkap dan didakwa dengan tuduhan melanggar hukum. Beberapa pengunjuk rasa diklaim mencoba memblokir jalan di daerah tersebut.
Usulan Undang-Undang Keamanan Nasional telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis demokrasi Hong Kong dan beberapa pemerintah asing. Mereka mengkhawatirkan Beijing semakin mengikis otonomi yang dijanjikan kepada kota itu ketika Inggris menyerahkan wilayah itu kembali ke China pada 1997.
"Pemerintah ingin membungkam kami dan mengusir kami. Kita harus berdiri dan menjatuhkan semua orang yang merampas kebebasan rakyat Hong Kong," kata seorang pemrotes, Roy Chan.
China mengatakan, peraturan itu hanya akan menargetkan sekelompok kecil pengacau karena menangani separatisme, subversi, terorisme, dan campur tangan asing di Hong Kong. Menurut media pemerintah China, Xinhua, Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional China mengkaji rancangan RUU pada Ahad.
Acara itu terjadi sehari setelah polisi Hong Kong menolak izin untuk pawai tahunan yang biasanya diadakan pada 1 Juli untuk menandai penyerahan wilayah tahun 1997. Alasan pelarangan merujuk pada peraturan pengurangan aktivitas pertemuan besar di tengah pandemi virus corona.