Senin 29 Jun 2020 10:21 WIB

Kematian Akibat Covid-19 Global Tembus Setengah Juta Jiwa

Kematian akibat Covid-19 global menembus setengah juta orang lebih hingga Ahad (29/6)

Rep: Fergi Nadira/ Red: Christiyaningsih
Penanganan pasien Covid-19 di RS lapangan dalam gym di Santo Andre, pinggiran Sao Paulo, Brasil. Kematian akibat Covid-19 global menembus setengah juta orang lebih hingga Ahad (29/6). Ilustrasi.
Foto: AP
Penanganan pasien Covid-19 di RS lapangan dalam gym di Santo Andre, pinggiran Sao Paulo, Brasil. Kematian akibat Covid-19 global menembus setengah juta orang lebih hingga Ahad (29/6). Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kematian akibat Covid-19 global menembus setengah juta orang lebih hingga Ahad (29/6). Ini merupakan kekhawatiran bagi pandemi global yang nampaknya bangkit kembali di beberapa negara ketika negara lain masih bergulat dengan gelombang pertama.

Penyakit pernafasan yang disebabkan oleh virus corona baru memang terdeteksi sangat berbahaya bagi usia tua. Meskipun orang dewasa dan anak-anak lain juga termasuk di antara lebih dari 500 ribu kematian dan lebih dari 10 juta kasus yang dilaporkan.

Baca Juga

Tingkat kematian secara keseluruhan terkendali dalam beberapa pekan terakhir. Namun demikian, para ahli kesehatan menyatakan keprihatinan rekor jumlah kasus di negara-negara seperti Amerika Serikat (AS), India, dan Brasil serta wabah baru di beberapa negara di Asia.

Lebih dari 4.700 orang meninggal setiap 24 jam karena penyakit terkait Covid-19, menurut perhitungan Reuters berdasarkan rata-rata dari 1 hingga 27 Juni. Sekitar seperempat dari semua kematian sejauh ini terdeteksi di AS. Lonjakan kasus baru-baru ini paling banyak terjadi di beberapa negara bagian selatan dan barat yang pembatasannya dibuka kembali lebih awal dan lebih agresif.

Jumlah kasus di Amerika Latin pada Ahad melampaui jumlah yang didiagnosis di Eropa sehingga menjadikan wilayah ini yang paling kedua terkena dampak pandemi, setelah Amerika Utara. Kematian pertama yang dicatat dari virus baru itu terjadi pada 9 Januari. Saat itu seorang lelaki berusia 61 tahun dari kota Wuhan, China yang merupakan pembelanja reguler di pasar basah yang telah diidentifikasi sebagai sumber wabah.

Hanya dalam lima bulan, angka kematian Covid-19 telah melampaui jumlah orang yang meninggal setiap tahun akibat malaria, salah satu penyakit menular yang paling mematikan. Tingkat kematian rata-rata mencapai 78 ribu per bulan, dibandingkan dengan 64 ribu kematian terkait AIDS dan 36 ribu kematian malaria, menurut angka 2018 dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Menyoal Penguburan Korban Covid-19

Tingginya jumlah kematian telah menyebabkan perubahan pada upacara penguburan tradisional dan agama di seluruh dunia. Banyak kamar mayat dan bisnis pemakaman kewalahan dan orang yang dicintai sering dilarang mengajukan penawaran perpisahan secara pribadi.

Di Israel, kebiasaan mencuci mayat orang Muslim tidak diizinkan dan alih-alih dibungkus dengan kain, mereka harus dibungkus dengan kantong mayat plastik. Tradisi Shiva Yahudi di mana orang pergi ke rumah kerabat yang berkabung selama tujuh hari juga telah berubah.

Di Italia, umat Katolik telah dikuburkan tanpa pemakaman atau berkat dari seorang imam. Di New York, krematorium kota pada satu titik bekerja lembur, membakar mayat sampai malam ketika para pejabat mencari lokasi penguburan sementara.

Di Irak, mantan milisi menjatuhkan senjata mereka untuk menggali kuburan bagi para korban virus corona di kuburan yang dibuat khusus. Mereka telah belajar bagaimana memimpin penguburan orang Kristen, juga Muslim.

Pakar kesehatan masyarakat melihat bagaimana demografi memengaruhi angka kematian di berbagai wilayah. Beberapa negara Eropa dengan populasi yang lebih tua telah melaporkan tingkat kematian yang lebih tinggi.

Laporan pada April oleh Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa mengamati lebih dari 300 ribu kasus di 20 negara dan menemukan bahwa sekitar 46 persen dari semua kematian adalah di atas usia 80 tahun. Namun demikian, di Indonesia, ratusan anak diyakini telah meninggal karena pembangunan telah dikaitkan dengan kekurangan gizi, anemia, dan fasilitas kesehatan anak yang tidak memadai.

Para ahli kesehatan memperingatkan bahwa data resmi kemungkinan tidak memaparkan data lengkapnya. Banyak yang meyakini bahwa baik kasus maupun kematian kemungkinan tidak dilaporkan di beberapa negara.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement