REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Iran telah mengeluarkan surat perintah penangkapan dan meminta bantuan Interpol untuk menahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Jaksa Ali Alqasimehr mengatakan, Trump diduga terlibat dalam serangan yang menewaskan Komandan Garda Revolusi Iran, Qassem Soleimani, pada 3 Januari lalu.
"Trump menghadapi tuduhan pembunuhan dan terorisme," ujar laporan kantor berita ISNA.
Alqasimehr menekankan, Iran akan terus mengejar penuntutannya, bahkan setelah periode kepresidenan Trump berakhir. Alqasimehr juga dikutip mengatakan bahwa Iran telah meminta red notice untuk Trump, yakni pemberitahuan tingkat tertinggi yang dikeluarkan oleh Interpol.
Di bawah red notice, otoritas setempat melakukan penangkapan atas nama negara. Pemberitahuan tidak dapat memaksa negara untuk menangkap atau mengekstradisi tersangka, tetapi dapat menempatkan pemimpin pemerintah membatasi perjalanan tersangka.
Setelah menerima permintaan red notice, Interpol bertemu dengan komite dan membahas apakah akan membagikan informasi atau tidak dengan negara-negara anggotanya. Interpol tidak memiliki persyaratan untuk membuat pemberitahuan apa pun ke publik meskipun beberapa dipublikasikan di situsnya.
Interpol, yang berbasis di Lyon, Prancis, mengatakan bahwa konstitusinya melarangnya melakukan intervensi atau kegiatan apa pun yang bersifat politik, militer, agama, atau ras. "Karena itu, jika atau ketika ada permintaan seperti itu dikirim ke sekretariat jenderal, Interpol tidak akan mempertimbangkan permintaan seperti ini," ujar Interpol, dilansir Aljazirah.
Utusan AS untuk Iran, Brian Hook, menggambarkan tindakan Iran sebagai aksi propaganda. Brian mengatakan, Interpol tidak akan melakukan intervensi dan mengeluarkan red notice yang didasarkan pada sifat politik.
"Ini adalah sifat politik. Ini tidak ada hubungannya dengan keamanan nasional, perdamaian internasional, atau mempromosikan stabilitas. Ini adalah aksi propaganda yang tidak seorang pun menganggap serius," ujar Hook.