REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Libya membalas pernyataan Presiden Emmanuel Macron tentang peran Turki di negara Afrika utara. Libya menuduh balik Prancis berkontribusi pada kekacauan di Libya dengan mendukung Khalifa Haftar.
"Kami berharap untuk mendengar dari Presiden Macron tentang posisi yang menyatakan penolakannya terhadap agresi 14 bulan (Khalifa) melawan Tripoli," kata Mohamed Taher Siala, menteri luar negeri Libya, Selasa (1/7).
Siala menanggapi pernyataan Macron yang mengklaim peran Turki dalam krisis Libya merupakan ancaman bagi Afrika dan Eropa. Pekan lalu, Macron juga menyebut dukungan Turki bagi pemerintah Libya sebagai sebuah permainan berbahaya.
Menanggapi hal itu, Kementerian Luar Negeri Turki menuduh Prancis terlibat dalam kekacauan di Libya dan menyebut kehadiran dan kegiatan Prancis di sana mengganggu. Libya telah dirundung perang saudara sejak Muammar Khaddafi lengser dan wafat pada 2011.
Terlepas dari argumen tak berdasar dari panglima pemberontak Khalifa Haftar dan para pendukungnya, PBB mengakui pemerintah yang dipimpin oleh Fayez al-Sarraj. Di bawah pakta militer dengan Libya yang ditandatangani November lalu, Turki mengirim penasihat militer untuk membantu dalam pertempuran melawan pasukan Haftar.
Setelah ditemukannya kuburan massal di daerah-daerah yang ditinggalkan milisi Haftar, PBB dan para ahli hukum internasional telah menyatakan keprihatinan atas kemungkinan kejahatan perang.
Haftar didukung secara internasional oleh Rusia, Prancis, Mesir dan Uni Emirat Arab.