REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Australia akan meningkatkan pengeluaran pertahanan sebesar 40 persen selama 10 tahun ke depan untuk membeli aset militer jangka panjang. Alat militer itu akan difokuskan pada kawasan Indo-Pasifik.
Demikian disampaikan Perdana Menteri Scott Morrison, Rabu (1/7). Dalam pidatonya yang mengancam akan meningkatkan ketegangan dengan China, Morrison mengatakan Australia akan membelanjakan 270 miliar dolar Australia atau 186,5 miliar dolar AS (setara Rp2,69 kuadriliun) selama 10 tahun ke depan untuk memperoleh kapasitas serangan jarak jauh di udara, laut dan darat.
Sebelumnya, Australia pada 2016 berjanji akan membelanjakan 195 miliar dolar Australia (setara Rp1,91 kuadriliun) selama 10 tahun ke depan. Morrison mengatakan Australia juga akan memutar fokus militernya ke kawasan Indo-Pasifik.
"Kami ingin kawasan Indo-Pasifik yang bebas dari paksaan dan hegemoni. Kami menginginkan suatu kawasan di mana semua negara, besar dan kecil, dapat terlibat secara bebas satu sama lain dan dipandu oleh aturan dan norma internasional," kata Morrison dalam pidatonya di Canberra.
Meskipun Morrison tidak menyebut nama China, sikap Australia yang bersiaga di kawasan Pasifik dipandang sebagai sinyal bahwa Canberra berniat untuk bersikap lebih tegas dalam berurusan dengan Beijing. Australia juga tidak terlalu bergantung pada Amerika Serikat.
"China adalah suatu persoalan besar yang tidak dibahas," kata Sam Roggeveen, direktur Program Keamanan Internasional Lowy Institute yang berbasis di Sydney.
"Meskipun benar bahwa kita fokus pada kawasan kita, tetapi membeli rudal jarak jauh - terutama yang untuk sasaran di darat - dapat mengundang tanggapan dari Beijing," ujar Roggeveen.
Morrison mengatakan Australia pertama-tama akan membeli 200 rudal anti-kapal jarak jauh senilai 800 juta dolar Australia (setara Rp7,86 triliun) dari Angkatan Laut Amerika Serikat. Australia juga akan mempertimbangkan pengembangan rudal hipersonik yang dapat melakukan perjalanan setidaknya lima kali kecepatan suara.
Belanja pertahanan Australia itu akan menyenangkan Presiden AS Donald Trump, yang menuduh sekutu AS menerima dengan cuma-cuma perlindungan Washington.
Namun, belanja pertahanan Australia itu tidak akan banyak membantu perbaikan hubungannya dengan China yang merupakan mitra dagang terbesarnya. Kedua negara saling bersaing untuk mendapatkan pengaruh di Pasifik.
Setelah mengalami pukulan dari keputusan Australia pada 2018 untuk melarang masuknya jaringan broadband 5G dari Huawei China, hubungan bilateral Australia-China dalam beberapa bulan terakhir telah menjadi masam. Pasalnya, Canberra menyerukan pengadaan penyelidikan independen tentang asal-usul pandemi virus corona baru.
Bulan lalu, pPemerintah Australia mengatakan "aktor negara yang canggih" telah menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk meretas semua tingkat pemerintahan, badan politik, penyedia layanan penting dan operator infrastruktur kritis.
"Australia memandang China sebagai tersangka utamanya," kata tiga narasumber kepada Reuters.
Namun, China membantah bahwa negara itu berada di balik serentetan serangan dunia maya, dan sekarang hubungan China-Australia yang suram telah meluas ke urusan perdagangan.
China telah menangguhkan impor daging sapi dari empat pengolah daging terbesar di Australia dan memberlakukan tarif yang lumayan mahal untuk gandum, meskipun kedua belah pihak mengatakan bahwa hal itu tidak terkait dengan pertengkaran terbaru mereka.