REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Fatah dan Hamas berjanji bersatu untuk menentang rencana pencaplokan Tepi Barat oleh Israel. Pejabat senior dari kedua belah pihak telah melakukan konferensi pers bersama yang jarang terjadi pada Kamis (2/7).
"Kami akan memberlakukan semua langkah yang diperlukan untuk memastikan persatuan nasional dalam upaya menentang pencaplokan (Tepi Barat)," ujar pejabat senior Fatah Jibril Rajub dalam konferensi pers di Ramallah dikutip laman Al Araby.
Pejabat Hamas Saleh al-Arouri turut berpartisipasi melalui telekonferensi dari Beirut, Lebanon. "Hari ini kami ingin berbicara dengan satu suara," ujarnya menyambut pernyataan Rajub.
Arouri sangat menyambut konferensi pers bersama tersebut. Dia menggambarkan konferensi itu sebagai kesempatan untuk memulai fase baru antara Hamas dan Fatah yang akan menjadi layanan strategis bagi rakyat Palestina.
Pencaplokan sebagian wilayah Tepi Barat rencananya dilakukan pada Rabu (1/7) lalu. Namun Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memutuskan menunda pelaksanaannya. Amerika Serikat (AS) selaku pendukung rencana pencaplokan dilaporkan belum bisa menerima skema yang disiapkan Israel terkait aneksasi Tepi Barat.
Di sisi lain, terdapat keretakan di tubuh pemerintahan Netanyahu, khususnya dengan Ketua Blue and White Party Benny Gantz yang saat ini menjabat sebagai menteri pertahanan Israel. Gantz menghendaki agar keputusan politik yang dibuat saat ini diprioritaskan untuk penanganan pandemi Covid-19 beserta efek sosial-ekonominya.
Gantz meyakini negaranya belum memperoleh dukungan diplomatik yang diperlukan untuk proses aneksasi Tepi Barat. Dia percaya rencana perdamaian Timur Tengah yang disusun pemerintahan Presiden AS Donald Trump adalah kerangka kerja politik dan keamanan yang tepat untuk dipromosikan di Israel. Dalam rencana itu AS siap mengakui kedaulatan Israel atas sebagian wilayah Tepi Barat dan Lembah Yordan.
Namun Gantz berpendapat, rencana itu perlu dieksekusi dengan benar. Menurutnya, negara-negara di kawasan Timur Tengah perlu dilibatkan dalam diskusi dengan dukungan internasional. “(Kita harus) melakukan segala upaya untuk terhubung dengan mereka dan kemudian melanjutkan. Saya pikir semua cara untuk mendatangkan para pemain belum habis,” ujarnya pada Selasa (30/6) dikutip laman Times of Israel.
Meski saat ini menjabat sebagai menteri pertahanan, Gantz nantinya akan menggantikan Netanyahu sebagai perdana menteri. Kedua tokoh itu membentuk pemerintahan koalisi dengan kesepakatan pembagian masa jabatan perdana menteri.