Rabu 08 Jul 2020 13:18 WIB

Kekerasan di Amerika Serikat Merajalela Saat Pandemi Corona

Angka kekerasan di sejumlah negara bagian AS meningkat termasuk penembakan

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Lokasi penembakan pada sebuah pesta kampus di Texas, Amerika Serikat.
Foto: EPA-EFE/LARRY W. SMITH
Lokasi penembakan pada sebuah pesta kampus di Texas, Amerika Serikat.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Belum pulih dari pandemi virus corona dan unjuk rasa anti-rasialisme, kota-kota di seluruh Amerika Serikat harus menghadapi meningkatnya angka kekerasan.

Penembakan massal kian sering terjadi dan menewaskan puluhan orang, termasuk anak-anak. Pengamat mengatakan meningkatnya angka kekerasan itu mudah dijelaskan.

Baca Juga

Menurut mereka hal itu disebabkan berbagai masalah yang dihadapi AS mulai dari tingginya angka pengangguran yang tak pernah dialami sebelumnya, pandemi yang menewaskan lebih dari 130 ribu orang, perintah di rumah saja, brutalitas polisi yang memicu kemarahan masyarakat, dan juga iklim.

"Saya pikir ini badai kesengsaraan yang sempurna di Amerika," kata Wali Kota Atlanta Keisha Lance Bottoms, usai penembakan berdarah akhir pekan lalu.

Profesor hukum pidana Temple University dan pembawa acara podcast 'Reducing Crime',  Jerry Ratcliff mengatakan siapa pun yang merasa bisa menguraikan masalah ini, maka sebenarnya ia tidak tahu apa yang sedang ia bicarakan.

Presiden AS Donald Trump kembali membawa ranah meningkatnya angka kekerasan ke urusan politik. Ia menuduh Demokrat terlalu lemah dan menyinggung gelombang kejahatan dipicu unjuk rasa menuntut keadilan rasial, reformasi polisi dan pemotongan anggaran penegakan hukum.

"Keamanan dan ketertiban adalah bangunan dari mimpi Amerika, tapi jika anarki menang, mimpi itu akan runtuh," kata juru bicara Gedung Putih Kayleigh McEnany pekan lalu.

Kepolisian di New York City dan kota-kota lain mengatakan pertumpahan darah baru-baru ini menunjukkan konsekuensi sejumlah reformasi salah arah. Hal itu terutama reformasi jaminan tersangka, yang sudah disahkan sebelum unjuk rasa George Flyod.

"(Penjahat kambuhan) merasa polisi tidak dapat berbuat apa-apa lagi, tidak ada yang suka polisi, mereka dapat kabur, aman membawa senjata di jalanan," kata kepala Departemen Kepolisian New York Terence Monahan pekan ini.

Akhir pekan lalu, ada gelombang penembakan yang menewaskan 10 orang. Hingga Ahad (5/7) terjadi 585 penembakan, naik 53 persen sepanjang tahun ini.

Meningkatnya angka kekerasan di ibu kota terekam dalam berita utama New York Post yang meminta bantuan atas tingginya angka kejahatan di sana. Angka kejahatan pekan  hampir mirip 30 tahun yang lalu di mana ada 2.000 pembunuhan dalam satu tahun. Namun, angka kekerasan dalam beberapa dekade terakhir menurun drastis. Hanya terjadi sekitar 300 pembunuhan tahun lalu.  

Kejahatan di kota-kota besar lainnya juga meningkat tajam. Angka kejahatan di Dallas dari bulan April hingga Juni naik 14 persen. Di Philadelphia hingga 5 Juli pembunuhan naik 20 persen dibandingkan tahun lalu.

Pada akhir pekan lalu 31 orang ditembak di Atlanta, lima di antaranya meninggal dunia. Di pekan yang sama tahun 2019 lalu hanya tujuh orang ditembak  dan satu meninggal dunia.

Serikat polisi mengatakan petugas tidak melakukan tugas mereka dengan baik karena khawatir didakwa atas kejahatan. Wali Kota Atlanta Keisha Lance Bottoms marah setelah mendengar korban penembakan yang baru berusia 8 tahun tewas di dekat restoran Wendy di mana  Rayshard Brooks meninggal dunia ditembak polisi, peristiwa yang memicu unjuk rasa anti diskriminasi rasial di Atlanta.

"Gerakan yang penting sedang terjadi, tepi tembak-menembak liar gaya Barat, acak ini terjadi karena Anda bisa berhenti," katanya dalam konferensi pers. 

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement