REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Iran Hassan Rouhani melarang pertemuan besar, seperti pernikahan atau melayat, untuk membendung peningkatan penularan Covid-19. Di lain sisi, ia bersikeras ekonomi negara itu harus tetap terbuka.
Tak lama setelah pidato Rouhani disiarkan di televisi, Sabtu, seorang pejabat polisi di Teheran mengumumkan penutupan semua tempat pernikahan dan berkabung di Ibu Kota Iran tersebut. Tak tertera sampai kapan kebijakan itu akan berlaku.
"Kita harus melarang upacara dan pertemuan di seluruh negeri, apakah itu pemakaman, pernikahan, atau pesta," kata Rouhani.
"Menurut Rouhani, sekarang bukan waktunya untuk festival atau seminar. Ia bahkan berpikir bahwa ujian masuk universitas mungkin harus ditangguhkan.
Iran secara bertahap mengendurkan aturan penguncian sejak pertengahan April, tetapi baru-baru ini melaporkan kenaikan tajam jumlah infeksi. Korban tewas pada Sabtu naik 188 dibandingkan sehari sebelumnya menjadi 12.635, sementara jumlah total kasus yang didiagnosis mencapai 255.117,
"Angkanya meningkat 2.397 selama periode yang sama," kata juru bicara Kementerian Kesehatan Sima Sadat Lari di televisi pemerintah.
Rouhani dan pejabat lainnya menyalahkan kenaikan jumlah kasus sebagian pada pesta pernikahan, pemakaman, dan pertemuan publik lainnya. Penasihat Satuan Tugas Virus Corona Iran memperingatkan bahwa jika langkah-langkah yang tepat tidak diambil, antara 50 ribu dan 60 ribu orang dapat meninggal karena pandemi.
"Gelombang kedua, yang akan terjadi pada musim gugur, akan jauh lebih mematikan," kata penasihat itu, Hossein Qenaati, menurut kantor berita semi-resmi ISNA.
Sementara berjuang untuk menghentikan penyebaran Covid-19, otoritas Iran khawatir bahwa langkah-langkah yang lebih keras dapat menghancurkan ekonomi yang sudah terbebani di bawah sanksi Amerika Serikat.
"Pilihan termudah adalah mematikan ekonomi. Tetapi kemudian orang akan turun ke jalan karena kelaparan dan pengangguran," kata Rouhani.