REPUBLIKA.CO.ID, ROMA - Menteri Luar Negeri Aljazair Sabri Boukadoum pada Jumat mengungkapkan negaranya menentang perpecahan di Libya serta mengharapkan perdamaian dan stabilitas di negara itu.
"Harapan kami adalah Libya kembali damai dan stabil sesegera mungkin dan negara itu memiliki kedaulatan dan integritas terhadap seluruh wilayahnya," kata Boukadoum kepada Anadolu Agency saat berkunjung ke Roma untuk berjumpa dengan sejawatnya dari Italia.
Terkait perkataan Haftar pada 2018 mengenai perang di Libya dapat meluas ke Aljazair, Menlu Aljazair mengatakan, "Mungkin ada retorika yang berbeda [oleh Haftar] dari waktu ke waktu, tapi kami tak menghiraukannya. Kami memiliki hubungan yang sangat baik dengan semua pihak.”
“Kami ingin semua rakyat Libya bersatu. Kami tidak ingin memisahkan mereka dengan cara apa pun yang akan membahayakan integritas wilayah, masa depan, perdamaian dan persatuan Libya," ujar dia.
"Kami berharap tidak akan ada perpecahan di Libya. Perpecahan Libya berbahaya bagi semua orang. Ini terutama berlaku untuk negara-negara tetangga Libya. Kita harus terus bekerja untuk integritas, kesatuan, dan stabilitas wilayah Libya,” sebut dia.
Menanggapi pertanyaan apakah negaranya cemas atas serangan udara di pangkalan udara AL-Watiyya, Boukadoum mengatakan pihaknya justru mengkhawatirkan nasib warga Libya, karena negaranya tahu bagaimana melindungi diri wilayahnya sendiri.
Dia berpendapat serangan Haftar ke pangkalan strategis itu tidak mengancam negaranya secara militer. Namun Menlu Aljazair itu menekankan gencatan senjata dan dialog politik di Libya harus segera dilakukan secepatnya.
Sejak April 2019, pasukan pemberontak Khalifa Haftar telah melancarkan serangan terhadap ibu kota Libya, Tripoli, dan wilayah barat laut dan mengakibatkan lebih dari 1.000 kematian, termasuk perempuan dan anak-anak.
Namun, pemerintah Libya baru-baru ini meraih kemenangan signifikan dengan mendorong pasukan Haftar keluar dari Tripoli dan Kota Tarhuna yang strategis.
Pemerintah baru negara itu didirikan pada 2015 di bawah perjanjian yang dipimpin oleh PBB, tetapi upaya penyelesaian politik jangka panjang gagal karena serangan militer oleh panglima pemberontak Khalifa Haftar, yang didukung oleh Prancis, kelompok paramiliter Rusia Wagner, Uni Emirat Arab dan Mesir.
PBB mengakui pemerintah Libya yang dipimpin oleh Perdana Menteri Fayez al-Sarraj sebagai otoritas sah negara itu.