REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengkritik diamnya komunitas internasional atas ketidakadilan yang dilakukan Israel di Palestina. Hal itu menyusul rencana koalisi pemerintahan Benjamin Netanyahu untuk mencaplok sekitar 30 persen dari Tepi Barat.
"Pengumuman Israel tentang rencana aneksasi permukiman Palestina di Tepi barat dan Lembah Jordan adalah langkah baru dalam kebijakan pendudukan dan penganiayaan," ujar Erdogan seperti dikutip kantor berita Turki, Anadolu Agency, Senin (13/7).
Erdogan mengatakan, semua tanah milik Palestina pada 1947, tetapi tanah itu telah menyusut dan malah wilayah Israel semakin besar dari tahun ke tahun. Dengan invasi Yerusalem pada 1967, fase baru dimulai. Erdogan menyayangkan, tidak ada lagi tempat yang disebut Palestina di peta.
"Hampir semua tanah Palestina telah ditelan oleh Israel. Sekarang, Israel ingin menduduki tanah yang tersisa. Rencana aneksasi bertujuan untuk tujuan ini," katanya.
Erdogan mendesak dunia untuk menghentikan langkah melanggar hukum Israel. Dia juga menekankan bahwa umat Islam tidak memiliki prasangka atau permusuhan terhadap orang-orang Yahudi dan Israel.
"Yang kami lawan adalah kebijakan invasif dan melanggar hukum pemerintah Israel," kata dia.
Sejak Mei, Israel menyatakan akan mencaplok bagian-bagian wilayah Tepi Barat dan Lembah Jordan pada 1 Juli. Namun demikian, Israel menunda rencananya, meski pemerintah koalisi Israel menegaskan aneksasi akan tetap terjadi pada bulan Juli.
Para pejabat Palestina telah mengancam untuk menghapuskan perjanjian bilateral dengan Israel jika itu dilanjutkan dengan aneksasi, yang selanjutnya akan merusak solusi dua negara. Turki dan banyak komunitas internasional tidak mengakui kedaulatan Israel atas wilayah yang didudukinya sejak 1967.
Indonesia termasuk salah satu negara yang sangat tegas dan konsisten pada posisinya terhadap Palestina. Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi sejak awal diumumkannya rencana aneksasi oleh Israel, langsung menggalang dukungan kepada hampir seluruh negara di dunia untuk menolak langkah Israel.
Bersama Tunisia, Indonesia juga memprakarsai pertemuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) tingkat menteri untuk membahas situasi Timur Tengah terutama rencana aneksasi bagian-bagian wilayah Tepi Barat oleh Israel.
"Pilihan ada di tangan kita, apakah akan berpihak kepada hukum internasional, atau menutup mata dan berpihak di sisi lain yang memperbolehkan tindakan yang bertentangan dengan hukum internasional?," tanya Retno.
"Sudah terlalu lama, rakyat Palestina mengalami ketidakadilan, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan situasi kemanusiaan yang buruk. Aneksasi Israel merupakan ancaman bagi masa depan bangsa Palestina," ujarnya beberapa waktu lalu.