Kamis 16 Jul 2020 06:02 WIB

Bumi akan Dihuni 8,8 Miliar Manusia pada 2100

Populasi di Sub-Sahara Afrika akan bertambah 3 kali lipat menjadi 3 miliar orang.

Rep: Lintar Satria/ Red: Friska Yolandha
Penelitian terbaru menemukan pada tahun 2100 bumi akan dihuni 8,8 miliar manusia.
Foto: AP/Eugene Hoshiko
Penelitian terbaru menemukan pada tahun 2100 bumi akan dihuni 8,8 miliar manusia.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Penelitian terbaru menemukan pada tahun 2100 bumi akan dihuni 8,8 miliar manusia. Jumlah itu kurang dari dua miliar dibandingkan proyeksi PBB saat ini.

Populasi di lebih dari 20 negara, seperti Italia, Jepang, Polandia, Portugal, Korea Selatan, Spanyol dan Thailand akan berkurang setengahnya dari saat ini. Sementara itu populasi Cina akan berkurang dari 1,4 miliar menjadi 730 juta jiwa.  

Baca Juga

Penelitian yang dipublikasikan di jurnal The Lancet ini melibatkan peneliti dari seluruh dunia. Mereka meramalkan kekuatan-kekuatan dunia baru akan mengalami penurunan angka kelahiran dan populasi lanjut usia terus bertambah.

Penelitian juga memprediksi bila tidak membiarkan gelombang imigran masuk. Pada akhir abad ini populasi 183 dari 195 negara di dunia akan jatuh hingga ke titik ambang batas yang diperlukan untuk mempertahankan populasinya.  

Sementara itu populasi di Sub-Sahara Afrika akan bertambah tiga kali lipat menjadi sekitar 3 miliar orang. Pada tahun 2100 jumlah pendudukan Nigeria diperkirakan menjadi 800 juta jiwa, populasi terbesar kedua setelah India yang sebesar 1,1 miliar jiwa.

Penulis utama penelitan tersebut, Direktur Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) University of Washington, Christopher Murray mengatakan prediksi ini mengindikasi berita bagus untuk lingkungan. Sebab artinya tekanan terhadap sistem produksi makanan berkurang.  

"Dan emisi karbon pun turun, begitu pula meningkatnya kesempatan ekonomi di sebagian Sub-Sahara Afrika, tapi tenaga kerja dan piramida populasi di sebagian besar negara di luar Afrika menyusut, yang akan akan berdampak negatif bagi ekonomi, " kata  Murray seperti dilansir dari Aljazirah, Rabu (15/7).

Penelitian tersebut menyimpulkan solusi terbaik bagi negara-negara berpendapatan tinggi yang masuk dalam kategori tersebut adalah membuat kebijakan imigran lebih fleksibel dan memberikan dukungan sosial bagi keluarga yang ingin memiliki anak. Dengan begitu mereka  bisa menjaga pertumbuhan populasi dan ekonomi.

"Namun dalam menghadapi penurunan populasi ada bahaya yang sangat nyata bagi sejumlah negara yang mungkin mempertimbangkan memperketat akses pada layanan kesehatan reproduksi, konsekuensinya berpotensi menghancurkan, sangat penting kebebasan dan hak-hak perempuan di atas semua agenda pembangunan pemerintah," kata Murray.

Layanan kesehatan dan sosial harus diperluas dan ditingkatkan untuk mengakomodir tingginya populasi orang lanjut usia. Penelitian itu memprediksi angka kelahiran rendah dan harapan hidup tinggi.

Penelitian juga meramalkan angka anak di bawah lima tahun turun lebih dari 40 persen dari 681 juta pada tahun 2017 menjadi 401 juta pada tahun 2100. Di sisi lain jumlah orang dewasa berusia di atas 65 tahun menjadi 2,37 miliar orang atau seperempat dari total populasi.

Sementara itu jumlah mereka yang berusia di atas 80 tahun naik dari hari ini yang sebanyak 140 juta orang menjadi 866 juta. Menurutnya jumlah populasi usia produksi juga akan menjadi tantangan besar bagi banyak negara.  

"Masyarakat akan sulit tumbuh bila tenaga kerja dan pembayar pajaknya sedikit," kata profesor di IHME, Stein Emil Vollset.

Contohnya seperti jumlah populasi usia produktif di China yang saat ini sebesar 950 juta jiwa. Pada akhir abad mendatang hanya sebanyak 350 juta orang. Sementara itu India dari saat ini sebanyak 762 juta menjadi 578 juta jiwa. Berbanding terbalik dengan Nigeria yang jumlah usia produktifnya hari ini 86 juta jiwa akan menjadi 450 juta jiwa pada 2100 mendatang.

Para peneliti juga memprediksi pergeseran tektonik ini juga akan mengubah urutan keberhasilan ekonomi.  Pada tahun 2050 Produk Domestik Bruto (PDB) China diperkirakan akan melampaui Amerika Serikat (AS) tapi mereka akan kembali ke urutan kedua pada tahun 2100.

PDB India akan menjadi terbesar ketiga di dunia, sementara Prancis, Jerman, Jepang dan Inggris tetap bertahan di 10 perekonomian terbesar. Brasil diproyeksikan turun dari peringkat delapan menjadi 13, Rusia dari 10 menjadi 14.

Kekuatan-kekuatan lama seperti Italia dan Spanyol akan turun dari 15 dan 25 besar menjadi 28 ke bawah. Indonesia diprediksi berada di peringkat 12, sementara Nigeria diproyeksikan masuk ke 10 besar.  

"Pada akhir abad ini, dunia akan menjadi multipolar, dengan India, Nigeria, Cina dan Amerika Serikat kekuatan dominan," kata Pemimpin Redaksi The Lancet Richard Horton.

Hingga saat ini PBB memprediksi pada tahun 2030 bumi akan dihuni 8,5 miliar manusia, tahun 2050 menjadi 9,7 miliar orang dan 2100 menjadi 10,9 miliar jiwa. Perbedaan angka PBB dan IHME terletak pada angka kelahiran yang disebut 'replacement rate' di mana rata-rata satu perempuan melahirkan 2,1 manusia.

Murray mengatakan PBB berasumsi negara-negara dengan angka kelahiran rendah saat ini akan meningkat angka kelahiran mereka. Menjadi sekitar 1,8 manusia per perempuan. "Analisis kami mengindikasi perempuan menjadi semakin berpendidikan dan memiliki akses terhadap layanan kesehatan reproduksi, mereka memilih untuk memiliki anak rata-rata kurang 1,5 anak per perempuan," kata Murray. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement