REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Perdana Menteri Perancis yang baru diangkat, Jean Castex, telah berjanji akan menegakkan sekulerisme di Prancis. Ia berjanji memprioritaskan untuk melawan apa yang ia sebut sebagai Islam radikal dalam segala bentuk, Rabu (15/7).
Castex mengatakan kepada Majelis Nasional bahwa Prancis sedang terguncang hingga fondasinya oleh musuh-musuhnya seperti terorisme, teori konspirasi, separatis, dan komunitarian. Untuk mengatasi masalah itu, Undang-Undang baru untuk memerangi separatisme akan diperkenalkan setelah liburan musim panas.
Peraturan tersebut, menurut Castex, bertujuan untuk menghindari kelompok-kelompok tertentu yang sangat tertutup di sekitar identitas etnis atau agama. Dia pun menegaskan akan bertindak keras terhadap demonstran dan kejahatan kecil yang menghasilkan kekerasan. Kepolisian akan mendapatkan sumber daya untuk mengatasi tersebut.
Dikutip dari Aljazirah, upaya Castex sejalan dengan ide dari Presiden Prancis, Emmanuel Macron. Baru-baru ini, dia memperingatkan bahwa gerakan anti-rasis diambil alih oleh separatis, setelah demonstrasi menentang kekerasan polisi dan rasisme di Paris.
Hakim lokal akan ditunjuk untuk memastikan perilaku anti-sosial sehari-hari dihukum dengan cepat. Beberapa anggota minoritas Muslim Perancis merasa bahwa sekulerisme negara itu diarahkan kepada mereka, meskipun Macron sendiri telah mengutuk pendekatan memecah belah.
Kepala Komite Keadilan dan Kebebasan Untuk Semua Prancis, Yasser Louati, menyatakan penggunaan istilah "separatisme" oleh Castex ditunjukan dan secara khusus menargetkan Muslim yang mobilisasi menentang rasisme dan Islamofobia sehingga menyinggung masyarakat konservatif.
"Penggunaan istilah 'separatisme' baru-baru ini oleh Emmanuel Macron menandai peningkatan baru dalam Islamofobia yang disponsori negara dalam hal itu melanggengkan fantasi musuh di dalam, sama seperti yang dilakukan Prancis dengan Yahudi di masa lalu," kata Louati.
Kelompok-kelompok Hak Asasi Manusia sebelumnya mengutuk Prancis karena melakukan penggerebekan diskriminatif dan penahanan rumah terhadap Muslim setelah negara itu mengumumkan keadaan darurat pada November 2015. "Keadaan darurat yang menargetkan lebih dari 5.000 rumah Muslim, bisnis, dan tempat-tempat ibadah telah menjadi permanen. Saya khawatir akhir musim panas akan menjadi kekerasan ketika pemerintah kembali ke kantor," kata Louati.