REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING — Juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) China Hua Chunying mengundang Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo untuk mengunjungi Xinjiang. Hal itu disampaikan setelah Pompeo berulang kali menuding China melakukan penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap Muslim Uighur.
Hua, dalam pengarahan pers pada Kamis (16/7), menyerukan AS untuk melihat Cina secara objektif. Oleh sebab itu, dia mengundang Pompeo ke Xinjiang. Hua ingin memperlihatkan bahwa tidak ada pelanggaran HAM terhadap etnis minoritas Muslim Uighur di kawasan tersebut.
Pada Rabu (15/7), Hua juga sempat menyinggung isu Xinjiang dalam pengarahan pers harian Kemlu Cina. Dia menyebut apa yang dikatakan beberapa orang di AS tentang Xinjiang adalah kebohongan besar abad ini. Hal itu termasuk kabar terkait adanya satu juta Muslim Uighur yang ditahan di kamp konsentrasi.
Namun, menurut Hua fakta di lapangan berbicara lebih keras dibandingkan dugaan dan tuduhan terkait Xinjiang. “Selama empat dekade terkakhir, populasi Uighur di Xinjiang lebih dari dua kali lipat, dari 5,55 juta menjadi 11,68 juta. Ada satu masjid untuk setiap 530 Muslim di Xinjiang, dan jumlah total masjid adalah 10 kali lebih banyak daripada AS,” ungkapnya, dikutip laman resmi Kemlu China.
Dia mengklaim semua etnis di Xinjiang hidup bahagia. Menurutnya hal itu jelas menunjukkan bahwa tuduhan AS tentang adanya penindasan tidak benar. Hua mengatakan AS juga secara keliru mengklaim bahwa Muslim di Xinjiang hidup di bawah pengawasan ketat dan terdapat lebih dari satu juta kader Partai Komunis China tinggal di rumah Uighur.
Hua menjelaskan China memiliki program bernama “Pair Up and Become Family” di Xinjiang. Hal itu dilakukan dengan membawa pejabat ke masyarakat guna membantu orang mengatasi kesulitan dalam pekerjaan, pendidikan, dan layanan medis.
Pemerintah China telah dituding membangun kamp-kamp interniran dan menahan lebih dari satu juta Muslim Uighur di Xinjiang. Beijing secara konsisten membantah tuduhan tersebut. China mengatakan bahwa Xinjiang berada di bawah ancaman milisi dan separatis Islam. Ia membantah adanya penganiyaan atau kamp interniran di sana.
Beijing mengklaim kamp-kamp di wilayah tersebut merupakan pusat pendidikan vokasi. Namun para veteran dari kamp-kamp tersebut memberikan informasi yang berseberangan dengan Pemerintah Cina. Mereka menyebut, selama berada di kamp, budaya, bahasa, dan kepercayaan Uighur dicela. Mereka pun dipaksa bersumpah setia pada Partai Komunis Cina dan Presiden Xi Jinping.