REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Presiden Mesir, Abdul-Fattah al-Sisi dan Presiden, Amerika Serikat, Donald Trump, sepakat perlunya mempertahankan gencatan senjata di Libya, Senin (20/7). Kantor Kepresidenan Mesir menyatakan, kedua negara setuju pentingnya menghindari eskalasi antara pasukan yang bertempur di wilayah tersebut.
Sisi dan Trump berbicara melalui telepon ketika parlemen Mesir melakukan sesi tertutup. Sebelumnya, Sisi memenangkan persetujuan parlemen untuk kemungkinan intervensi Libya.
Sisi mengatakan pekan lalu, Mesir tidak akan berdiam diri dalam menghadapi ancaman terhadap keamanan Mesir dan Libya. Setiap intervensi di Libya akan memerlukan persetujuan parlemen,yang didominasi oleh para pendukungnya.
Mesir prihatin dengan ketidakstabilan di Libya dan dukungan Turki untuk pemerintah yang diakui secara internasional di Tripoli, Government of National Accord (GNA). Pasukan pemerintan saat ini telah bergerak lebih dekat ke kota pusat Sirte dengan harapan merebutnya kembali dari Libyan National Army (LNA) Khalifa Haftar yang berbasis di timur.
Sirte adalah pintu gerbang ke pelabuhan ekspor minyak yang dipegang oleh LNA. Sisi menyatakan pada bulan lalu, garis depan Sirte adalah garis merah untuk Mesir. Negara ini merupakan pendukung Haftar bersama Uni Emirat Arab dan Rusia.
Dukungan Turki untuk GNA telah berkontribusi pada berkurangnya serangan LNA selama 14 bulan di Tripoli. Konflik yang didukung pihak asing ini dapat berisiko memicu masalah langsung di antara kekuatan asing yang memasok senjata dan pihak yang melanggar embargo senjata.
Sisi dan Trump juga membahas bendungan Blue Nile yang direncanakan Ethiopia. Kairo khawatir Ethiopia akan mulai mengisi bendungan tanpa persetujuan dengan Kairo dan Sudan, yang juga akan terpengaruh.