REPUBLIKA.CO.ID, SANAA -- Krisis pangan di Yaman diprediksi bakal meningkat tajam dalam enam bulan ke depan akibat adanya penurunan kegiatan ekonomi akibat pandemi virus corona yang berkepanjangan. Badan-badan internasional di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa telah memperingatkan Yaman.
Sebagaimana dilansir Aljazirah, Kamis (23/7), sebuah laporan dari World Food Programme (WFP) disebutkan bahwa PBB dan FAO mengatakan jumlah orang yang bakal mengalami kerawanan pangan akut akan meningkat menjadi 3,2 juta orang di bagian selatan Yaman.
Yaman diketahui telah menjadi tempat krisis pangan terbesar di dunia akibat adanya perang antara pemberontak Houthi melawan koalisi pimpinan Saudi yang berada di pihak pemerintah dan diakui secara internasional. Di satu sisi, imbas dari Covid-19 yang mengharuskan adanya pembatasan mengakibatkan guncangan ekonomi, berkurangnya pengiriman uang untuk berbagai bantuan. Hal-hal itu telah memperparah situasi kelaparan di tengah perang yang sudah terjadi dalam lima tahun terakhir.
Kekerasan pun bangkit kembali di antara masyarakat sipil dalam beberapa pekan terakhir antara pihak-pihak yang bertikai, meskipun ada upaya perdamaian PBB. Sebelumnya, kelaparan belum pernah dinyatakan secara resmi di Yaman.
"Yaman menghadapi krisis di berbagai bidang. Kita harus bertindak sekarang," kata Laurent Bukera, Direktur WFP untuk Yaman.
Konflik Yaman setidaknya telah menewaskan lebih dari 100.000 orang dan menciptakan bencana kemanusiaan terburuk di dunia. Lebih dari tiga juta orang mengungsi secara internal dan dua pertiga penduduknya bergantung pada bantuan makanan untuk bertahan hidup.
Negara-negara donor baru-baru ini mengurangi bantuan ke Yaman akibat pandemi virus corona. Para donatur pun khawatir bantuan tersebut mungkin tidak akan mencapai penerima yang dituju di wilayah yang dikuasai Houthi yang didukung Iran.
"Yaman kembali berada di ambang krisis keamanan pangan yang besar," kata Lise Grande, koordinator kemanusiaan PBB untuk Yaman.
Sekitar 24 juta orang Yaman, sekitar 80 persen dari populasi negara itu, memerlukan beberapa bentuk bantuan atau perlindungan, menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan.