REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Pemerintah Turki menyepakati untuk mengawasi media sosial lebih ketat. Komisi Keadilan Parlemen Turki menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam pengaturan penggunaan media sosial, pada Jumat (24/7).
RUU tersebut menetapkan definisi formal penyedia media sosial untuk menunjuk perwakilan yang bertanggung jawab dalam investigasi dan proses hukum yang berkaitan dengan pelanggaran pada platform. Dilansir laman Anadolu Agency, RUU tersebut mendefinisikan entitas nyata atau hukum, yang memungkinkan pengguna untuk membuat, memantau, atau berbagi konten daring seperti teks, visual, suara dan lokasi untuk interaksi sosial, sebagai penyedia jejaring sosial. Penyedia jaringan sosial berbasis asing yang memiliki lebih dari 1 juta pengunjung setiap hari di Turki, akan menugaskan setidaknya satu perwakilan di negara tersebut.
Informasi kontak orang tersebut akan dimasukkan dalam situs web dengan cara yang jelas dan mudah diakses. Perwakilan dari penyedia media sosial itu harus warga negara Turki.
Penyedia jaringan sosial akan memiliki waktu 48 jam untuk menanggapi permintaan untuk menghapus konten yang menyinggung. Penyedia juga akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menyimpan data tentang pengguna di Turki di dalam negara.
Denda administratif untuk penyedia yang gagal memenuhi kewajiban akan dinaikkan guna mendorong kepatuhan. Sebelumnya, denda antara 10.000 - 1.000.000 lira Turki (1.500 - 15.000 dolar AS). Namun, kini jumlahnya akan berikisar antara 1 juta - 10 juta lira (146.165 - 1.461.650 dolar AS).
Laman Aljazirah edisi 1 Juli 2020 mencatat, bahwa pemerintahan Erdogan telah lama mempertimbangkan amandemen undang-undang yang akan membuat raksasa media sosial seperti Twitter, Facebook, dan YouTube menghapus konten yang tidak sesuai dengan aturan, serta menghadapi denda berat dan akses yang dibatasi. Belakangan, Turki mendesak menyoal masalah itu setelah penghinaan terhadap anggota keluarga presiden diunggah secara daring.
Namun para kritikus khawatir, pembatasan akses media sosial bertujuan untuk membatasi kemampuan masyarakat Turki untuk mengakses kantor-kantor berita independen di lingkungan yang didominasi oleh media pro-pemerintah. Turki telah memblokir akses ke ribuan situs.
Pada Januari, pemerintah mencabut larangan lebih dari dua tahun Wikipedia setelah pengadilan tinggi Turki memutuskan bahwa situs itu tidak konstitusional. Pada Desember 2015, regulator komunikasi Turki mengeluarkan denda kepada Twitter karena mempublikasikan konten yang dianggap dapat membenarkan teror.