REPUBLIKA.CO.ID,WARSAWA -- Polandia akan membatalkan keterlibatan dalam perjanjian Eropa untuk memerangi kekerasan terhadap perempuan, Sabtu (25/7). Keputusan ini beralasan karena beberapa elemennya bertentangan dengan nilai-nilai konstitusional negara.
"Konvensi itu termasuk lapisan ideologis berbahaya, yang bertentangan dengan tatanan konstitusional Polandia," kata wakil menteri aset negara dan anggota parlemen dari mitra koalisi Law and Justice (PiS) yang memimpin negara, Janusz Kowalski.
Kowalski mengatakan, menurut pendapat partainya dan Kementerian Kehakiman, Konvensi Istanbul Eropa hal yang salah. Komentarnya itu menggemakan pandangan yang diungkapkan oleh pejabat pemerintah lainnya awal bulan ini bahwa Polandia harus mengambil langkah untuk keluar dari konvensi.
Polandia mengesahkan Konvensi Dewan Eropa tentang pencegahan dan pemberantasan kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan dalam rumah tangga atau lebih dikenal sebagai Konvensi Istambul pada tahun 2015. Langkah ini dibuat oleh pemerintahan sebelumnya yang lebih sentris yang menilai tradisi, budaya atau agama tidak dapat digunakan sebagai pembenaran untuk tindakan kekerasan terhadap perempuan.
Sedangkan PiS yang berkuasa lima tahun lalu tidak setuju. Partai ini yang berjanji untuk mempertahankan nilai-nilai keluarga tradisional. Keputusan ini telah mengisyaratkan bahwa Warsawa dapat keluar dari perjanjian dengan alasan undang-undang Polandia dapat melindungi perempuan dengan lebih efisien.
Rencana tersebut pun mendapatkan kritikan dan ribuan orang, kebanyakan wanita, memprotes di Warsawa dan kota-kota lain di Polandia menentang rencana pemerintah pada Jumat (24/7) malam. "Tujuannya adalah untuk melegalkan kekerasan dalam rumah tangga," ujar salah satu penyelenggara protes, Magdalena Lempar.
Beberapa pengunjuk rasa membawa spanduk bertuliskan "PiS adalah neraka para wanita". Ungkapan ini merujuk pada upaya partai dari tahun-tahun terakhir untuk memperketat aturan aborsi yang sudah dibatasi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, panggilan ke hotline kekerasan dalam rumah tangga di Eropa naik sebanyak tiga perlima dalam tahun ini. Kondisi ini terjadi karena alkohol dan penyalahgunaan narkoba dikombinasikan dengan pengurungan ketat dalam karantina wilayah akibat pandemi virus korona.