REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Parlemen Turki mengeluarkan undang-undang yang mengatur media sosial pada Rabu (29/7). Para kritikus menyatakan, undang-undang ini akan meningkatkan sensor dan menghambat kebebasan berpendapat.
Undang-undang tersebut mewajibkan perusahaan media sosial asing memiliki perwakilan lokal di Turki, dan harus mematuhi pengadilan untuk menghapus konten tertentu. Apabila perusahaan melanggar perintah pengadilan maka akan menghadapi denda, dan pemblokiran iklan atau bandwidth hingga 90 persen.
Undang-undang itu akan mempengaruhi jaringan sosial dengan lebih dari satu juta kunjungan setiap hari. Di bawah undang-undang tersebut, server dengan data pengguna Turki harus disimpan di Turki.
RUU kontroversial ini diajukan oleh Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) dan mitra nasionalisnya, Partai Gerakan Nasionalis (MHP), yang memiliki mayoritas di parlemen. RUU tersebut disahkan setelah perdebatan dimulai sejak Selasa (28/7) dan berlangsung hingga Rabu (29/7).
Menjelang pengesahan RUU, juru bicara Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan, RUU itu akan berfungsi sebagai alat bagi negara untuk menegaskan kendali yang lebih besar terhadap media.
Sementara, juru bicara kepresidenan Ibrahim Kalim mengatakan, RUU tidak akan mengarah pada sensor tetapi berkaitan dengan komersial dan hukum dengan platform media sosial.
Secara global Turki berada di urutan kedua yang mengajukan perintah pengadilan terhadap Twitter dalam enam bulan pertama tahun 2019.
Sebelumnya Presiden Recep Tayyip Erdogan berjanji akan memperketat kontrol pemerintah atas media sosial. Hal ini diutarakan setelah warganet menghina Menteri Keuangan Berat Albayrak dan istrinya Esra, yang merupakan putri Erdogan, ketika mengumumkan kelahiran anak keempat mereka. Erdogan mengatakan, banyaknya tindakan yang tidak bermoral di media sosial dalam beberapa tahun terakhir merupakan dampak dari kurangnya peraturan.