Menghabiskan waktu bertahun-tahun bersama suku Marind Anim di Merauke, Papua, antropolog dari Australia, Sophie Chao berhasil merekam dampak buruk perkebunan kelapa sawit bagi penduduk setempat.
Di tahun 2019 kemarin, Sophie mendapat penghargaan tesis doktoral terbaik dalam kajian Asia Australia dari 'Asian Studies Association of Australia'.
"Saya meneliti dampak deforestasi dan perluasan kebun kelapa sawit di bawah program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) terhadap masyarakat setempat," ujar Dr Sophie dalam wawancara dengan wartawan ABC Farid M. Ibrahim, Rabu (29/07).
Suku Marind Anim mendiami wilayah yang sangat luas di Papua bagian selatan, yaitu mulai dari Selat Muli (Selat Marianne) hingga ke perbatasan Papua Nugini.
Wilayah tersebut meliputi daerah aliran Sungai Buraka, Bian, Eli, Kumbe, dan Maro yang secara administratif masuk dalam Distrik Okaba, Merauke, Kimam, dan Muting.
"Warga di sana masih memperoleh sumber makanannya dari hutan, seperti sagu, kasuari, babi hutan, dan juga ikan," ujar Dr Sophie yang sekarang sedang melakukan riset post-doctoral di Sydney University.
"Namun hutan semakin hilang serta air semakin tercemar polusi akibat aktivitas pabrik,"tambahnya.
Hilang hutan artinya hilang segalanya
Alumni Oxford University ini melakukan penelitian dari tahun 2015 hingga 2018 untuk program S3-nya di Macquarie University.
Namun sebelumnya, Dr Sophie sudah sering mengunjungi Merauke sebagai pekerja LSM bernama 'Forests People Programme' dan banyak terlibat dengan LSM setempat.
"Yang menarik bagi saya karena masyarakat suku ini menganggap hutan, pohon dan binatang sebagai kerabat mereka sendiri. Jadi ada hubungan emosional secara kultural antara manusia, pohon dan binatang," katanya.
"Saya meneliti bagaimana pembangunan di wilayah itu telah mengubah hubungan antarmahluk hidup ini," jelas Dr Sophie.
Melalui penelitian ini, Dr Sophie mengungkap perkebunan kepala sawit seringkali hanya dilihat dampaknya dari segi kerusakan lingkungan hidup, misalnya dari sisi hilangnya hutan tropis serta habibat orangutan.
"Jelas hal itu sangat penting, namun ada aspek lain dari sisi manusia yang kurang mendapatkan perhatian," katanya.
Ia mengatakan, bagi suku Marind di Papua, manusia dan lingkungan itu saling terkait dan tak bisa dipisahkan. Karenanya, hutan bukan sekadar sumberdaya yang bisa digunakan tapi merupakan suatu kehidupan tersendiri.
"Yang satunya tidak bisa bertahan atau hidup dengan baik tanpa adanya yang lain," ujar Dr Sophie.
"Hutan dipandang sebagai suatu dunia kehidupan, dunia nenek moyang, sehingga jika hutan hilang, itu bukan hanya kehilangan lingkungan hidup tapi sama dengan kehilangan segalanya bagi orang Marind," tambahnya.
Konflik akibat kelapa sawit
Hal lain yang diungkap dalam tesis Dr Sophie adalah kehadiran perkebunan kepala sawit yang menimbulkan konflik horisontal di kalangan penduduk Marind.
"Ada pro-kontra dalam masyarakat. Ada yang menerima kompensasi ada pula yang tidak," ujarnya.
Menurutnya ada kasus dimana suku Marind menandatangani kontrak dengan pihak perkebunan, tanpa memahami apa konsekuensi dari kontrak tersebut.
Pembukaan lahan untuk program MIFEE sudah berlangsung sejak sekitar satu dekade lalu dan sebagian perkebunan kepala sawit saat ini masih dalam tahap awal pengembangan.
Dari penelitian Dr Sophie terungkap banyak warga suku Marind yang merasa proyek kebun sawit dijalankan tanpa persetujuan mereka.
Hal itu, tak ayal lagi, memicu konflik warga dengan perusahaan, maupun konflik sesama warga sendiri terkait hak atas tanah, kesempatan kerja, serta ganti rugi.
Program MIFEE sendiri, kata Dr Sophie, bukan hanya perlu memperhatikan kepentingan ketahanan pangan nasional tapi juga ketahanan pangan penduduk setempat.
"Dari segi kebijakan, perlu adanya titik temu antara kepentingan pangan nasional dengan kepentingan pangan warga setempat," jelas Dr Sophie yang pernah jadi konsultan badan pangan dunia FAO.
Ia menjelaskan, hilangnya makanan hutan telah menimbulkan persoalan serius bagi ketahanan pangan penduduk Marind.
"Makanan hutan seringkali memiliki keseimbangan nutrisi yang baik. Ada sagu sebagai sumber karbohidrat, ada daging babi dan daging kasuari untuk protein, serta segala macam sayur dan buah sebagai sumber vitamin dan mineral," ujar Sophie yang juga salah satu pengurus Australian Anthropological Society.
Saat ini, makanan hutan telah berganti beras, mie instan, dan biskuit, sehingga timbul masalah malnutrisi yang menyebabkan tingginya tingkat 'stunting', infertilitas, kekurangan yodium dan kalsium.
"Meskipun mereka diberi segala macam makanan pengganti tersebut, namun bagi mereka itu tidak bikin kenyang dan tidak punya makna dalam kosmologi mereka," jelas Dr Sophie.
'Kelapa sawit membunuh sagu'
Kelapa sawit membunuh sagu
Kelapa sawit merenggut nyawa kerabat kita
Kelapa sawit mengeringkan sungai-sungai
Kelapa sawit menumpahkan darah tanah kita
Lirik lagu ini disenandungkan oleh Gerardus Gebze, seorang tetua adat Merauke saat pergi mencari sagu di hutan milik sukunya yang kini menjadi target perusahaan kebun kelapa sawit.
Dr Sophie merekam jeritan kesedihan dalam lagu tersebut, yang menurutnya, mewakili suara hati warga suku Marind.
"Lagu ini menggambarkan musnahnya pohon-pohon sagu akibat ekspansi deforestasi dan agribisnis," ujarnya.
"Ini menyuarakan hilangnya kerabat, rusaknya sungai-sungai serta hancurnya lanskap yang ada. Ini menyuarakan kelaparan, rasa pilu, dan kehilangan di antara semua mahluk hidup," katanya.
Lagu ini, kata Dr Sophe lagi, menyampaikan penghancuran kehidupan yang dipicu oleh serbuan kelapa sawit, tanaman monokultur yang dampaknya paling merusak.
"Orang Marind menegaskan sawit ini telah membunuh sagu mereka," katanya.
Memakai terminologi kolonisasi botanis, Dr Sophie menggambarkan bagaimana tanaman sawit mengambilalih lahan dan kaitannya dengan posisi warga Papua dalam konteks negara Indonesia.
"Banyak orang Marind sekarang menyebut kelapa sawit sama dengan penjajah," jelas Dr Sophie.
'Hutan akan jadi guru kamu'
Disertasi S3 yang ditulis Dr Sophie berjudul In the Shadow of the Palms: Plant-Human Relations Among the Marind-Anim, West Papua memperoleh penghargaan dari Asian Studies Association of Australia (ASAA) John Legge Prize sebagai Tesis Terbaik 2019 dalam kajian Asian Studies.
Ketua ASAA, Edward Aspinal dalam sebuah pernyataan menjelaskan, disertasi Sophie Chao berhasil mengungkap dan menganalisis hubungan dinamis antara manusia dengan hutan di Papua.
Dikatakannya, penelitian ini menunjukkan dampak mematikan dari kolonisasi botanis dari budidaya monokultur terhadap aneka jaringan dan konfigurasi keberadaan masyarakat suku Marind di dunia ini.
Karya Dr Sophie ini juga meraih penghargaan dari Australian Anthropological Society, serta Macquarie University Vice-Chancellor's Commendation.
Selama melakukan penelitian ini, Dr Sophie mengaku mendapatkan pelajaran berharga dari masyarakat Marind untuk selalu "menghargai alam".
"Mereka bilang, Sophie, berhenti berpikir, berhenti menulis, ayo kita jalan ke hutan. Hutan akan mengajarkan kamu segala hal. Hutan akan jadi guru kamu," katanya.
Ikuti berita menarik lainnya dari Australia di ABC Indonesia.