REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH – Kejadian Arab Spring memengaruhi Timur Tengah dengan cara yang sangat mendalam. Dampaknya masih dirasakan hingga saat ini, dengan perselisihan regional yang sedang berlangsung.
Berbagai aspek Arab Spring telah ditelaah dalam penelitian akademis maupun buku yang didedikasikan untuk menganalisis evolusi Ikhwanul Muslimin (IM) di berbagai negara Arab.
Mayoritas buku-buku ini fokus pada studi kasus individual, menggaIMarkan kelompok di negara-negara seperti Tunisia, Mesir dan lainnya baik secara positif maupun negatif. Beberapa analis Barat juga menangani aktivitas IM di masyarakat Barat.
Buku Lorenzo Vidino “The New Muslim Brotherhood in the West/ Persaudaraan Muslim Baru di Barat" dan buku Martyn Frampton “The Muslim Brotherhood and the West: A History of Enmity and Engagement" adalah contohnya.
Namun, jarang ditemukan buku yang menganalisis evolusi dan lintasan IM di masa depan, di berbagai negara Arab dan perannya dalam masyarakat Barat. Dalam bukunya "The Failure of the Muslim Brotherhood in the Arab World”/Kegagalan Ikhwanul Muslimin” di Dunia Arab", penulis Nawaf Obaid mengambil tugas ambisius ini.
Dilansir di eeradicalization, Selasa (4/8), dalam bukunya Obaid menjelaskan asal-usul IM di Mesir dan penyebaran selanjutnya ke seluruh dunia Arab. Fokus utamanya, adalah kebangkitan IM setelah Arab Spring.
Ia menyebut sebagian besar kebangkitan tersebut dimungkinkan oleh dukungan politik dan keuangan Qatar, serta peran mereka yang meningkat dalam masyarakat Barat. Penulis kemudian membahas kegagalan IM setelah delapan tahun kejadian Arab Spring.
Obaid menyoroti laporan CIA pada 1986, yang menunjuk hubungan IM dengan organisasi teroris seperti Al Jihad dan Tentara Pembebasan Islam. Selain itu, ia membahas tulisan Sayyid Qutb, anggota IM terkemuka yang dieksekusi pada 1966 setelah upaya gagal untuk membunuh Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser. CIA percaya IM terus menguatkan kemampuan militer mereka saat laporan itu diterbitkan.
Setelah pemberontakan rakyat menyebabkan penggulingan Presiden Mesir, Hosni Mubarak, pada 2011, IM dengan cepat mencoba merebut kendali atas panggung politik. IM juga mampu memenangkan hampir setengah dari kursi parlemen dalam pemilihan.
Namun, Obaid lantas menunjukkan beberapa kesalahan yang dilakukan kelompok tersebut selama beberapa waktu ini yang akhirnya menyebabkan kegagalan.
Kesalahan pertama adalah kegagalan pemimpin anggota IM, Khairat El-Shater, mendukung Abdel Moneim Aboul Fotouh untuk pencalonan presiden. Aboul Fotouh adalah mantan anggota IM yang berjalan independen.
Namun, El-Shater percaya dia tidak cukup radikal atau patuh untuk mendapatkan dukungannya. Perilaku diktator seperti El-Shater selama periode ini mendorong banyak anggota meninggalkan grup.
IM kemudian memilih Mohamed Morsi sebagai kandidat mereka dan dia memenangkan pemilihan. Namun, kepresidenannya hanya berumur pendek. Morsi mulai bertindak seperti sosok yang kejam, mengeluarkan dekrit dan menghalangi peninjauan kembali.
Lima bulan kemudian, bagi banyak orang Mesir, IM sama sekali tidak tertarik pada demokrasi dan berusaha meraih kekuasaan absolut. Pada Maret 2013, Sekretaris Negara Amerika Serikat, John Kerry, bertemu dengan Morsi di Kairo.
Setelah pertemuan itu, John Kerry menyimpulkan IM merupakan sekumpulan orang yang tidak melakukan sesuatu yang produktif. Pada akhirnya, mereka menjadi anti-demokrasi.
Ribuan orang Mesir lantas mulai turun ke jalan dan menuntut kejatuhan pemerintahan Morsi yang otokratis. Negara dengan cepat menjadi terpolarisasi dengan pendukung IM yang berkumpul di belakang Morsi dan menindak mereka yang menentangnya.
Alih-alih mencoba menjembatani kesenjangan, Morsi menjadi lebih mengakar dalam posisinya. Pada 26 Juni 2013, ia menyampaikan pidato yang menyalahkan permasalahan Mesir pada mereka yang menentang IM.
Ia kemudian mencalonkan seorang anggota partai politik yang terkait dengan kelompok militer Islam sebagai gubernur Luxor. Sayap kelompok ini telah membantai lebih dari 60 orang di sebuah lokasi wisata pada 1997.
Pencalonan itu membuat marah rakyat Mesir yang turun ke jalan dan menuntut pemilihan cepat. Morsi menolak dan sebagai gantinya menggunakan kekerasan terhadap para pengunjuk rasa. Sepekan kemudian, ia digulingkan dari kekuasaan oleh tentara Mesir.
Keputusan untuk menggulingkannya tidak hanya didasarkan pada kebijakan internal Morsi, tetapi juga kebijakan luar negerinya yang dipandang merusak keamanan Mesir.
Sebagai contoh, Morsi telah berjanji menyerahkan wilayah Halayeb dan Shalateen yang disengketakan ke Sudan. Ia juga mendukung rencana Ethiopia membangun Bendungan Millenial yang akan sangat memengaruhi akses Mesir ke perairan Nil yang vital.
Tak hanya itu, Morsi juga berjanji kepada pemimpin Al Qaeda, Ayman Al-Zawahiri, untuk memerintah Sinai dan naturalisasi anggota Hamas di sana. Ia juga menyetujui kesepakatan 200 miliar dolar Amerika Serikat, di mana Qatar akan diizinkan menggunakan Terusan Suez dan memiliki kendali atas Piramida dan Sphinx selama 99 tahun.
Khawatir akan segera dijatuhkan, IM menyusun rencana yang didukung Qatar dan Turki, memanfaatkan kelompok teroris di Sinai untuk menyerang Kairo. Pemimpin IM terkemuka, Mahmoud Izzat, pergi ke Al-Arish untuk mengawasi rencana dan mengarahkan anggota kelompok untuk mengganggu transportasi umum di Kairo dan Giza.
Brigade militer Izz ad-Din Al-Qassam yang berafiliasi dengan IM di Gaza ditugaskan menargetkan kepemimpinan militer Mesir. Sementara itu, para pemimpin IM, El-Shater dan Issam Al-Iryan, menghubungi kedutaan besar Amerika Serikat dan Inggris sebagai upaya menjelaskan sudut pandang mereka dan mendapatkan dukungan.
Mempelajari plot ini, militer Mesir memutuskan bergerak cepat menggagalkan rencana IM, yang berujung pemecatan Morsi dari kekuasaannya pada 3 Juli 2013. Sebagai tanggapan terhadap pemecatan Morsi, IM memobilisasi massa, menduduki sebuah tempat yang besar, Lapangan Raba'a Kairo.
Obaid mengklaim, tujuan aksi tersebut adalah mencegah kemungkinan penyebaran demonstran dan memprovokasi kekerasan. Dia menambahkan, beberapa pengunjuk rasa membawa senjata dan menembak pasukan keamanan. Akhirnya, pasukan keamanan dengan tindakan keras membubarkan aksi yang mengakibatkan ratusan kematian pemrotes.
Tindakan keras itu lantas menyebabkan pergeseran dalam tubuh IM, terutama bagi generasi muda, menuju ide-ide Qutbist. Kelompok teroris yang berafiliasi dengan IM, Hasm, dibentuk dan mulai melakukan serangan.
Kebuntuan di Suriah
Pada 1976, IM di Suriah mengobarkan pemberontakan penuh terhadap Presiden Hafez Al-Assad. Juni 1980, kelompok itu berusaha membunuh Al-Assad dan pihak berwenang Suriah mulai menindak kelompok tersebut dengan mengeksekusi banyak anggotanya.
Pada 2 Februari 1982, IM berhasil mendapatkan kendali atas Kota Hama. Pasukan Suriah merebut kembali kota itu 27 hari kemudian dan mengakhiri pengaruh IM di Suriah ketika para anggotanya melarikan diri ke pengasingan.
Namun, kelompok itu bangkit kembali pada 2011 selama Arab Spring dan mampu membangun kembali dirinya di beberapa daerah di negara itu. Perang saudara yang meletihkan pun terjadi. Baru pada pertengahan 2019 gelombang perang cenderung menguntungkan rezim dan popularitas kelompok itu menurun.
Meski demikian, Turki dan Qatar mencoba melalui pengaruh mereka terhadap oposisi Suriah yang bersenjata. Mereka berusaha mendapatkan peran bagi kelompok tersebut dalam pemerintahan Suriah di masa depan. Namun, prospek ini tidak mungkin terwujud karena Al-Assad mengendalikan hampir 90 persen negara.