REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Lebanon pernah menjadi negara makmur dan sejahtera. Namun, kini Lebanon berubah menjadi negara dengan kehancuran ekonomi dalam dan konflik politik tinggi.
Washington Post menulis, saat ini semua serba langka di Lebanon. Listrik dijatah 2-4 jam per rumah tangga per hari.
Bandara di Beirut tutup karena tak ada ketersediaan listrik. Tak ada lagi lampu lalu lintas menyala. Sementara gedung-gedung kosong.
Makanan pokok langka. Roti hingga susu selain harganya sangat mahal akibat inflasi tinggi juga susah didapatkan.
Guardian melaporkan tingkat inflasi yang tinggi menyebabkan nilai tukar pound, mata uang Lebanon, semakin lemah. Gaji pensiun sebesar 700 dolar AS kini hanya senilai 100 dolar AS.
Tingkat inflasi tahunan Lebanon melonjak ke 89,74 persen pada Juni 2020. Ini menjadi tingkat tertinggi sejak Desember 2008.
Pada Mei, Inflasi Lebanon sebesar 56,53 persen, yang terjadi karena meningkatnya krisis ekonomi dan mata uangnya yang runtuh di tengah krisis politik.
Lebanon masuk ke dalam hiperinflasi yang sulit dibendung. Menurut Reuters, pound nilainya sudah terdegradasi hingga 80 persen dari dolar AS.
Pada sisi lain, harga naik lebih cepat terutama untuk makanan dan minuman hingga 246,62% pada Mei. Transportasi naik 84,69%, pakaian dan alas kaki naik 344,81%, dan restoran-hotel 342,45%.
Harga perabot rumah tangga, peralatan rumah tangga, dan pemeliharaan rutin rumah tangga naik 412,40% . Minuman beralkohol & tembakau naik 254,05%, sementara harga perumahan dan utilitas naik 3,55%.
Dari 6,8 juta warga Lebanon, 1 dari lima di antaranya berstatus pengungi. Lebanon juga menghadapi masalah banjir pengungsi dari Suriah. Juga, serangan-serangan dari Israel dan sanksi Amerika untuk Hizbullah.
Pemerintah Lebanon yang didukung Iran telah melakukan pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional (IMF), membicarakan kesepakatan dana talangan 10 miliar dolar AS.
Namun pembicaraan terhenti dan bantuan IMF urung datang. Tak ada deal antara Beirut dan IMF soal ini.
Negara-negara Arab pun menangguhkan segala bantuan karena korupsi yang kronis di pemerintahan Lebanon. Sementara, Iran yang menjadi pendukung politik di sana, juga sedang mengalami tekanan ekonomi kuat.
Pertumbuhan ekonomi Lebanon juga negatif pada 2019, yakni minus 3,6 persen. Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi Lebanon pada 2020 juga bakal minus lebih dalam, hingga -5 persen.
Lebanon kini menatap China untuk membantu mereka setelah IMF dan Amerika Serikat gagal menolong.