REPUBLIKA.CO.ID, Peristiwa pembunuhan tokoh Lebanon pada 2006 lalu yaitu Pierre Gemayel, yang saat itu menjabat menteri Perindustriaan Lebanon, cucu Pierre Gemayel Sr, pendiri Partai Kataeb, yang juga dikenal dengan Phalange dan pembunuhan mantan perdana menteri Lebanon, Rafik Hariri, membuat ketegangan antara faksi-faksi politik sectarian di Lebanon.
Sebagaimana yang disimpulkan media-media Barat, motif yang segera terlihat dinisbatkan kepada elemen-elemen politik pro-Suriah, di antaranya dua faksi Syiah-Hizbullah dan Amal serta satu faksi Kristen pimpinan Michael Aoun.
Bukankah pembunuhan ini dilakukan untuk mengintimidasi para politisi anti-Suriah yang menyetujui keterlibatan PBB dalam pengadilan kasus Hariri sesuai dengan pesanan Amerika Serikat.
Bukankah pembunuhan ini yang melemahkan pemerintah Siniora menguntungkan Hizbullah yang sepekan sebelumnya berunjuk rasa menuntut mundurnya Siniora karena dianggap sebagai kaki-tangan Amerika? Singkatnya, serentetan pertanyaan tersebut menyediakan raison d'etre untuk menjadikan Suriah dan kelompok Lebanon pro-Suriah sebagai tertuduh.
Namun, perlu dicermati konsekuensi apa yang diterima Suriah dan sekutunya di Lebanon dari pembunuhan tersebut? Konsekuensi langsung yang akan segera diterima adalah semakin massifnya upaya pendiskreditan mereka oleh kekuatan-kekuatan politik anti-Suriah. Kondisi mereka, yang sudah tersudutkan karena kasus Hariri, kini justru akan semakin terjepit. Sentimen anti-Suriah akan semakin kencang dihembuskan, baik di pemerintahan maupun masyarakat.
Yang terpenting, Damaskus yang sebenarnya berkepentingan dengan Lebanon yang damai kini menghadapi kemungkinan pecahnya perang saudara di negara tersebut seperti pada 1982. Kepentingan Suriah terhadap Lebanon yang damai ditujukan demi membendung agresivitas Israel di kawasan tersebut. Apalagi, sejak berhasil menahan agresi militer Israel pada Juli hingga Agustus lalu, pamor Hizbullah, sekutu Suriah, melonjak di mata masyarakat Lebanon. Alhasil, meletupnya krisis di Lebanon jelas tidak menguntungkan bagi eksistensi Suriah dan sekutu-sekutunya.
Jika demikian, tampaknya ada pihak lain yang mengail di air keruh. Ada pihak lain yang menuai keuntungan dengan menuduh satu pihak sebagai pelaku pembunuhan tersebut. Siapakah yang memperoleh keuntungan dari makin melemahnya pengaruh kelompok pro-Suriah di Lebanon? Lalu, siapa pula yang akan berpesta di tengah perpecahan nasional Lebanon? Perpecahan yang akan menjadikan negeri itu dipaksa menerima intervensi lembaga-lembaga multilateral.
Tampaknya tidak ada kekuatan yang jelas-jelas mendapatkan keuntungan dari pembunuhan Gemayel, juga Hariri, serta ketertuduhan Suriah kecuali Amerika Serikat dan Israel. Bagi Amerika, pembunuhan tersebut bisa dimanfaatkan untuk menolak keterlibatan Suriah juga Iran dalam kaitan dengan jadwal penarikan mundur pasukannya dari Irak, seperti yang diusulkan Kelompok Studi Irak (ISG) bentukan mantan Menlu Amerika Serikat ketika itu, James Baker.
Dengan menuduh Suriah terlibat dalam penembakan tersebut, presiden AS saat itu, Bush serta kalangan neokonservatif di Gedung Putih dan Pentagon bisa mengklaim bahwa melibatkan Damaskus dan Teheran dalam soal Irak adalah tidak layak karena kedua negara itu terlibat dalam instabilitas kawasan tersebut. Ini dibuktikan dengan keengganan Bush untuk menerima usulan ISG itu dan penetapan banyak syarat terhadap Suriah dan Iran jika kedua seterunya itu ingin terlibat dalam pembicaraan soal Irak. Apalagi keduanya, tanpa keterlibatan Amerika, berinisiatif merevitalisasi hubungan diplomatik dengan Baghdad.
Bagi Israel, dalam jangka pendek, melemahnya pengaruh kelompok pro-Suriah akan meminimalisasi anasir-anasir yang mengancam eksistensinya. Sementara itu, instabilitas Lebanon, dalam jangka panjang, akan mempermulus jalan Israel untuk mewujudkan mimpi fasistik mereka, Timur Tengah Baru, yang meliputi wilayah negeri Paris dari Timur Tengah itu.
Menguatnya tuntutan Amerika Serikat terhadap pemerintah Lebanon untuk melibatkan lembaga multilateral seperti PBB jelas semakin membuktikan keinginan kedua negara sekutu itu untuk menanamkan rezim boneka di Lebanon, yang akan melayani segala kepentingan dominasi keduanya atas Timur Tengah.