Selasa 11 Aug 2020 20:41 WIB

Iran Khawatir Kehilangan Pengaruh Pasca Pergantian Kekuasaan di Lebanon 

Iran waswas kehilangan pengaruh menyusul suksesi politik di Beirut.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
picture alliance/AP Photo
picture alliance/AP Photo

Sepekan setelah ledakan dahsyat di pelabuhan Beirut, kerusakan masih mendominasi wajah ibu kota Lebanon itu. Penduduk turun ke jalan untuk meluapkan amarah terhadap kaum elit, karena dinilai ikut bertangungjawab atas tragedi yang merenggut 158 nyawa tersebut.

Senin (19/8) malam, Perdana Menteri Hassan Diab mengumumkan pembubaran kabinet dan memerintahkan pemilihan umum buat mencari pemerintahan baru. Langkah itu sekaligus mengakhiri pengaruh kelompok Hizbullah di lingkup eksekutif Lebanon, setidaknya untuk sementara waktu.

Karena meski Hizbullah banyak dikecam dalam aksi demonstrasi massal di Beirut, amarah warga lebih diarahkan kepada kaum elit Lebanon yang diyakini korup dan abai. Pemerintah sebelumnya dikabarkansudah mendapat peringatan perihal bahan kimia berbahayayang disimpan di gudang pelabuhan.

Suksesi di Beirut menjadi bola liar bagi Iran yang kini kehilangan koneksi politik pada Hassan Diab. Teheran adalah salah satu dari sedikit alamat yang selama ini disambangi Diab untuk mencari bantuan. Sejak kejatuhan PM Saad Hariri, Lebanon dikucilkan oleh negara-negara di kawasan teluk.

Solidaritas dari Iran

Di Teheran, mahasiswa anggota milisi Basij berkumpul di depan gedung Kedutaan Besar Lebanon untuk menyatakan solidaritas pasca ledakan. Mereka menyalakan lilin, sembari berdoa dan mengibarkan bendera Lebanon dan Hizbullah.

Tidak sedikit warga Iran yang menyuarakan simpati di media sosial, antara lain dengan mengunggah gambar Beirut pasca ledakan yang dibubuhi penggalan puisi Nizar Kabbani, seorang penyair Suriah yang populer di Iran.

Dalam sebuah aksi lain, pencahayaan Menara Azadi yang merupakan simbol Teheran, tampil dalam balutan bendera Lebanon, yakni merah, putih dan hijau.

Pemimpin spiritual Iran, Ayatollah Ali Khamenei, meminta warga Lebanon agar “bersabar.” Dia berjanji Iran akan membantu, terutama ketika sekutu dekatnya itu berhadapan dengan “tragedi yang menyakitkan.”

Sementara itu Menteri Luar Negeri Mohammad Javad Zarif juga tak ketinggalan menjanjikan dukungan penuh bagi warga Lebanon. “Seperti biasanya, Iran sepenuhnya siap memberikan bantuan yang diperlukan. Tetaplah kuat, Lebanon!,” tulisnya pasca ledakan di Beirut lewat akun Twitter.

Pertaruhan status quo

Pasca perang saudara 1975-1989, politik Lebanon banyak dikuasai milisi-milisi bersenjata yang menang perang. Kelompok Syiah misalnya berhasil memperkuat posisi ketua parlemen yang menjadi jatahnya sesuai asas konfesionalisme yang membagi pemerintahan berdasarkan kelompok agama.

Maka ketika Presiden Perancis Emmanuel Macron mendesak reformasi menyeluruh di Lebanon, dia ikut mengundang kritik dari Iran.

“Saya kira pandangan Macron mengandung campur tangan asing,” kata Ali Esmaizadeh, seorang mahasiswa di Teheran. “Saya kira kata-katanya itu dibuat untuk menyulut api protes yang kelihatannya sudah dimulai semalam,” imbuhnya merujuk pada demonstrasi pada Sabtu (8/8) malam.

Imbauan Macron yang dilayangkan saat kunjungannya di Beirut, Jumat (7/8), itu ikut memicu komentar miring dari harian ultrakonservatif Iran, Kayhan, yang menuduhnya berusaha “memperlemah gerakan perlawanan (terhadap Israel) di Lebanon.”

Harian itu juga menyebut Konferensi Donor Lebanon yang menjanjikan dana bantuan senilai 250 juta Euro sebagai “gertakan” belaka. Iran sendiri tidak ikut serta dalam pertemuan tersebut, namun mengklaim sudah mengirimkan pasokan medis seberat 95 ton ke Beirut.

"Jika mereka (negara barat) mau jujur, mereka seharusnya mencabut sanksi terhadap pemerintah Lebanon dan penduduknya,” kata Jurubicara Kementerian Luar Negeri Iran, Abbas Mosuavi.

Teheran terlalu lemah untuk bantu Lebanon?

Bagi Pemimpin Redaksi Kayhan, Hossein Shariatmadari, “perubahan ala Macron” berati “pembubaran Hizbullah” dan “pertolongan untuk rejim Israel.”

“Atas nama Israel, Macron mengirimkan pesan kepada warga Lebanon bahwa jika mereka masih mendukung Hizbullah, mereka akan mengalami tragedi bencana serupa di masa depan,” katanya kepada AFP via sambungan telepon.

Namun begitu analis politik meragukan kemampuan Iran menyumbang uang untuk Lebanon. Republik Islam itu juga sedang dilanda krisis ekonomi menyusul embargo AS. Iran juga kesulitan meredam wabah virus corona yang sejak Januari telah menewaskan 18.600 orang dengan 329.000 kasus penularan.

Seorang jurnalis pro-reformasi, Ahmen Zeidabadi, mengatakan “dalam situasi seperti ini, kedua lengan Iran terikat, tidak mampu berbuat lebih” buat membantu rekonstruksi Beirut, kata dia kepada AFP.

“Jika Teheran punya uang, kita tahu apa yang bisa dilakukan dengan uang itu, seperti yang terjadi setelah perang Israel-Hizbullah pada 2006, di mana Iran memberikan dana hibah untuk mengganti kerugian oleh Lebanon.”

Tapi jika dulu pemerintahan Mahmoud Ahmadinejad berlimpah duit dari hasil menjual minyak “ketika harga sedang tinggi,” kini situasinya jauh berbeda. Iran, menurutnya, harus bekerjasama dengan negara-negara Eropa untuk membantu Lebanon.

“Ini membutuhkan perubahan perilaku dan visi terkait posisi regional pemerintahan republik Islam. Situasinya kini sangat rumit untuk Iran.”

rzn/as (afp, dpa)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement