REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Warga Palestina yang marah menuding kesepakatan Uni Emirat Arab (UAE) dan Israel akan membahayakan Masjid Al-Aqsa, situs suci umat Islam di Yerusalem, saat mereka berkumpul untuk shalat Jumat.
Di bawah kesepakatan yang ditengahi oleh Presiden AS Donald Trump, Israel, dan UAE mengumumkan pada Kamis (13/8) bahwa kedua negara akan menormalisasi hubungan diplomatik, yang dipersatukan oleh pertemuan kepentingan melawan Iran. Kesepakatan itu juga diperkirakan memberi umat Muslim akses yang lebih besar ke masjid Al-Aqsa di Yerusalem, dengan memungkinkan mereka terbang langsung dari Abu Dhabi ke Bandara Ben Gurion, Tel Aviv.
Hal itu disambut dengan cemas oleh para jamaah Palestina yang masuk ke kompleks puncak bukit yang dibatasi pepohonan di Kota Tua Yerusalem yang berdinding yang dikenal oleh Muslim sebagai al-Haram al-Sharif (Tempat Suci Mulia) dan bagi orang Yahudi sebagai Temple Mount.
"Saudara-saudara kami di Emirates menempatkan masjid kami yang diberkati dalam cengkeraman maut," kata Kamal Attoun (60 tahun) seorang pedagang Palestina di Yerusalem Timur dan Kota Tua.
Warga Palestina telah lama mengincar Yerusalem Timur, tempat Kota Tua berada, sebagai ibu kota negara masa depan dan telah meminta negara-negara Arab untuk mempertahankan pendirian itu. Jika mereka menormalkan hubungan dengan Israel, warga Palestina takut kehilangan kesempatan kedaulatan di kota itu di masa depan, dan jaminan akses ke masjid Al-Aqsa.
Mohammad al-Sharif (45 tahun), seorang anggota minoritas Arab Israel, mengatakan dia tidak akan berpikiran buruk terhadap para Muslim dari Teluk hanya "karena penguasa mereka membuat kesalahan."
"Kerja sama dengan UAE lebih buruk, seratus kali lebih buruk daripada bekerja sama dengan Israel. Bahwa Sheikh Mohammed bin Zayed dan anjing-anjing kotornya menjaga diri mereka sendiri dan kepentingan mereka dan kita semua bisa masuk neraka," kata dia, mengacu pada Putra Mahkota Abu Dhabi.
Pejabat tinggi Islam di Yerusalem, Sheikh Abdul-Azim Salhab dari Wakaf Islam, mengatakan kepada Reuters bahwa dia "tidak menerima masjid Al-Aqsa yang suci untuk menjadi subjek pertengkaran politik." Kecaman juga datang dari Presiden Palestina Mahmoud Abbas, yang juru bicaranya pada Kamis membacakan pernyataan dari kepemimpinan di televisi Palestina yang menyebut kesepakatan itu sebagai "pengkhianatan terhadap Yerusalem, Al-Aqsa, dan perjuangan Palestina."
Warga Palestina di seluruh Gaza dan Tepi Barat yang diduduki bersatu pada Jumat (14/8) untuk menentang kesepakatan itu. Para pengunjuk rasa di Kota Nablus membakar patung Trump, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dan Putra Mahkota Abu Dhabi Sheikh Mohammed bin Zayed.
Sementara itu, Israel menerima kesepakatan itu, dengan surat kabar terlaris di negara itu, Yedioth Ahronoth, menyebutnya sebagai "terobosan yang berani." Beberapa analis mengatakan Netanyahu berisiko membuat marah para pendukungnya dengan membatalkan janji untuk mencaplok tanah di Tepi Barat, wilayah yang dicari oleh Palestina untuk sebuah negara, untuk melakukan kesepakatan dengan negara Teluk Arab.
Netanyahu, yang dirundung oleh pengadilan korupsi yang sedang berlangsung dan dikritik karena penanganannya terhadap pandemi virus corona, memuji perjanjian itu sebagai keberhasilan pribadi dalam mengintegrasikan Israel di Timur Tengah. Di akun Twitter berbahasa Arabnya, dia memuji dinas intelijen luar negeri Israel, Mossad, yang membantu mencapai kesepakatan itu. Di bawah kepala mata-mata Yossi Cohen, Netanyahu mengatakan, Mossad membantu mengembangkan hubungan Israel dengan negara-negara Teluk dan "mematangkan perjanjian damai dengan Emirat.