Sabtu 15 Aug 2020 10:27 WIB

FBI tidak Ungkap Bantuan Investigasi Ledakan Lebanon

Diduga ledakan Lebanon adalah kecelakaan.

Relawan dari American University of Beirut berjalan di samping bangunan yang hancur di lingkungan dekat lokasi ledakan pekan lalu yang melanda pelabuhan Beirut, Lebanon, Kamis (13/8/2020).
Foto: AP / Felipe Dana
Relawan dari American University of Beirut berjalan di samping bangunan yang hancur di lingkungan dekat lokasi ledakan pekan lalu yang melanda pelabuhan Beirut, Lebanon, Kamis (13/8/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Biro Investigasi Federal (FBI) Amerika Serikat pada Jumat (14/8) memastikan akan membantu otoritas di Lebanon untuk menyelidiki penyebab ledakan dahsyat 4 Agustus. Ledakan Lebanon telah meluluhlantakkan Beirut dan menewaskan 172 orang.

"Atas permintaan Pemerintah Lebanon, FBI bersedia memberikan bantuan penyelidikan kepada mitra kami Lebanon dalam penyelidikan mereka terkait ledakan di Pelabuhan Beirut 4 Agustus," kata markas besar FBI melalui pernyataan kepada Reuters.

Baca Juga

"Karena ini bukan penyelidikan FBI, maka FBI tidak akan menambahkan pernyataan untuk saat ini. Pertanyaan lebih lanjut akan diarahkan langsung ke otoritas Lebanon sebagai penyidik utama," tambahnya.

Seorang pejabat penegak hukum mengatakan FBI tidak dapat memberi penjelasan secara spesifik tentang bantuan yang mereka tawarkan. Termasuk apakah agen FBI sedang dalam perjalanan menuju Beirut.

Badan pemerintah AS secara terbuka belum menyampaikan pernyataan atau materi apa pun mengenai pandangan penyelidik maupun badan intelijen AS tentang penyebab ledakan.

Namun, sumber pemerintah AS secara pribadi mengungkapkan, berdasarkan bukti yang ada, badan-badan AS yakin bahwa ledakan di hanggar, tempat penyimpanan amonium nitrat dalam jumlah besar yang berpotensi mudah menguap, kemungkinan besar merupakan sebuah kecelakaan. Namun, mereka masih mengumpulkan data dan masih mempertimbangkan kemungkinan bahwa ledakan itu seperti serangan yang sengaja dilakukan, menurut sumber tersebut dilansir dari Reuters.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement