REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Turki, Sabtu (15/8), mengutuk komentar yang disampaikan oleh calon presiden Amerika Serikat (AS) dari Partai Demokrat Joe Biden pada Desember. Ketika itu dia menganjurkan pendekatan baru AS terhadap Presiden Tayyip Erdogan dan dukungan untuk partai-partai oposisi.
Direktur komunikasi presiden Turki, Fahrettin Altun, mengatakan komentar itu mencerminkan permainan dan pendekatan intervensionis terhadap Turki. Pernyataan Biden dinilai tidak konsisten dengan hubungan diplomatik saat ini.
"Tidak ada yang bisa menyerang keinginan bangsa dan demokrasi kita atau mempertanyakan legitimasi Presiden kita, yang dipilih dengan suara populer," kata Altun di Twitter, mencatat kudeta yang gagal di Turki pada 2016.
Altun menyatakan, pernyataan yang disampaikan Biden tidak pantas dan tidak memiliki tempat dalam diplomasi. Komentar sebelum dia mencalonkan diri ini, tidak dapat diterima oleh pemerintahan Turki yang berlangsung saat ini.
Komentar Biden kepada editor New York Times muncul kembali dalam sebuah video yang menjadi topik paling populer di Twitter di Turki. Mantan wakil presiden AS era Barack Obama ini mengatakan dalam video bahwa dia sangat prihatin tentang pendekatan Erdogan terhadap milisi Kurdi di Turki, kerja sama militer parsial dengan Rusia, dan akses ke lapangan udara AS di negara itu.
"Menurut saya harus kami lakukan adalah mengambil pendekatan yang sangat berbeda dengannya sekarang, memperjelas bahwa kami mendukung kepemimpinan oposisi," kata Biden dalam video tersebut dan diverifikasi oleh transkrip yang diterbitkan pada bulan Januari.
Biden ketika itu menyatakan, Erdogan harus membayar mahal dan mendorong Washington harus memberi semangat kepada para pemimpin oposisi Turki. "Untuk dapat menghadapi dan mengalahkan Erdogan. Bukan dengan kudeta, bukan dengan kudeta, tapi dengan proses pemilihan," ujarnya.
Kondisi hubungan Turki dan AS saat ini pun berada dalam kondisi abu-abu. Presiden AS Donald Trump dan Erdogan berbicara secara teratur, tetapi hubungan diplomatik telah tegang karena pembelian pertahanan udara Rusia oleh Ankara, kebijakan di Suriah, dan tuduhan AS terhadap bank negara Turki karena diduga membantu Iran menghindari sanksi.