REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Penasihat senior Gedung Putih Jared Kushner pada Senin mengatakan Amerika Serikat tidak menekan Kuwait dan negara-negara Teluk lainnya untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.
Setelah Presiden Donald Trump mengumumkan pekan lalu bahwa Israel dan Uni Emirat Arab (UEA) telah setuju untuk menormalkan hubungan, dia berharap semakin banyak negara Arab mengikuti langkah tersebut. Namun, dalam konferensi pers, Kushner membantah bahwa Trump menekan Kuwait dan negara-negara Dewan Kerjasama Teluk (GCC) lainnya untuk mengikuti jejak UEA.
“Negara-negara akan melakukan hal-hal yang menjadi kepentingan mereka. Kuwait memiliki sejarah yang sangat kuat dengan Palestina," kata Kushner.
Dia merujuk pada dukungan resmi Palestina untuk invasi Irak ke Kuwait selama Perang Teluk 1991, ketika lebih dari 400.000 warga Palestina di Kuwait dipaksa keluar dari negara itu.
"Dan sekarang mereka di luar sana mengambil pandangan yang sangat radikal tentang konflik itu untuk kepentingan Palestina. Jelas, itu tidak terlalu konstruktif," ujar menantu Trump itu.
Kushner mengatakan pendekatan Trump tidak dimaksudkan untuk memberi tekanan pada negara-negara karena hubungan yang dibangun di atas tekanan bukanlah hubungan yang akan bertahan lama. Setelah kesepakatan dengan UEA, Kuwait mengatakan mereka akan menjadi negara terakhir yang menormalkan hubungan dengan Israel.
Kushner juga mengatakan kesepakatan UEA akan menyebabkan penundaan rencana kontroversial Israel untuk mencaplok sebagian besar wilayah Tepi Barat yang diduduki.
“Israel telah setuju dengan kami bahwa mereka tidak akan bergerak maju tanpa persetujuan kami. Kami tidak berencana memberikan persetujuan untuk sementara waktu,” tambah dia.