Kamis 20 Aug 2020 03:40 WIB

Polisi Thailand Tangkap Aktivis Penuntut Reformasi Kerajaan

Pelajar dan mahasiswa Thailand pekan lalu turun ke jalan menuntut reformasi kerajaan

Red: Nur Aini
Polisi antihuru-hara Thailand bersiaga (ilustrasi)
Foto: REUTERS
Polisi antihuru-hara Thailand bersiaga (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Kepolisian Thailand pada Rabu (18/8) menyebut pihaknya telah mengantongi surat penangkapan enam aktivis yang terlibat unjuk rasa pelajar minggu lalu.

Ribuan pelajar dan mahasiswa di Thailand turun ke jalan menyerukan 10 tuntutan, yang beberapa di antaranya mendesak adanya reformasi di tubuh kerajaan. Surat penangkapan yang ditujukan ke enam aktivis itu tidak terkait dengan aksi ribuan massa di Thammasat University pada 10 Agustus. Enam aktivis itu ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat karena dianggap melanggar aturan keamanan dalam negeri dan kebijakan pencegahan Covid-19, serta pidana siber.

Baca Juga

Salah satu aktivis yang diburu adalah Panusaya Sithijirawattankul, 21 tahun, seorang mahasiswa yang membacakan pernyataan terbuka/manifesto berisi tuntutan reformasi kerajaan. Aktivis lainnya yang dicari aparat, antara lain, Anon Nampa. Ia merupakan orang pertama di Thailand yang secara terbuka mendesak adanya reformasi di kerajaan. Nampa telah ditetapkan sebagai tersangka pada aksi protes sebelumnya.

"Mereka dapat menyerahkan diri hari ini atau kapan mereka siap, tetapi jangan membawa massa," kata Letnan Jenderal Polisi Amphol Buarabporn.

"Jika mereka tidak menyerahkan diri, kami dapat menangkap mereka saat mereka berada dalam jangkauan aparat," ujar dia.

Aksi protes yang dipimpin kalangan pelajar berlangsung hampir tiap hari selama lebih dari satu bulan. Massa menuntut Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, eks-petinggi junta, membentuk konstitusi baru dan mengakhiri kekerasan terhadap aktivis. Beberapa pelajar juga mendesak kekuasaan sejumlah pihak seperti Raja Maha Vajiralongkorn, angkatan bersenjata, dan abdi istana dikurangi. Tuntutan itu merupakan salah satu isu yang tabu dibicarakan di Thailand.

Siapa pun yang menghina kerajaan di Thailand dapat dipidana 15 tahun penjara. Namun, PM Prayuth mengatakan raja meminta aparat berhenti memidanakan warga dengan undang-undang penghinaan tersebut.

Kementerian Ekonomi Digital akan melayangkan gugatan terhadap Pavin Chachavalpongpun, seorang akademisi yang eksil, karena membuat grup Facebook yang mengkritik kerajaan, kata juru bicara kementerian Putchapong Nodthaisong. Grup tersebut, yang dinamakan Royalist Marketplace, memiliki lebih dari satu juta anggota.

"Kami telah melayangkan permintaan ke Facebook untuk menghapus grup tersebut, tetapi perusahaan media sosial itu tidak kooperatif," kata Putchapong. Oleh karena itu, kementerian akan menggunakan Undang-Undang Kejahatan Komputer sebagai dasar hukum gugatan.

Pavin belum dapat dihubungi untuk dimintai keterangan. Dua dari enam aktivis unjuk rasa 10 Agustus yang diburu aparat sempat dipenjara dan dibebaskan dengan jaminan dalam kasus demonstrasi sebelumnya.

Prayuth mengatakan anak muda punya hak untuk berunjuk rasa, tetapi tuntutan yang meminta reformasi di tubuh kerajaan "sudah kelewatan". Sejumlah aktivis sayap kanan berencana bertemu di Bangkok, Rabu, guna membahas strategi melawan aksi unjuk rasa pelajar.

Para pelajar sekolah menengah atas juga berencana menggelar demonstrasi di depan Kementerian Pendidikan, Rabu, menyusul rangkaian unjuk rasa dari kalangan pro demokrasi di banyak sekolah.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement