REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Sejumlah organisasi HAM mengklaim bahwa Facebook berperan dalam kekerasan di Myanmar yang memaksa ratusan ribu Rohingya meninggalkan rumah mereka dan mengungsi ke Bangladesh.
Dalam sebuah pernyataan pada Ahad (24/8), perwakilan dari Voice of Rohingya, Masyarakat Rohingya Arakan untuk Perdamaian dan Hak Asasi Manusia, Pemuda Rohingya untuk Tindakan Hukum dan Wanita Rohingya untuk Keadilan dan Perdamaian mengatakan mereka telah menghubungi Direktur Facebook untuk Hak Asasi Manusia Miranda Sissons dan rekannya Alex Waraofka.
"Kami memberitahunya bahwa kami terpaksa melarikan diri dari Myanmar ke Cox's Bazar di Bangladesh setelah kekerasan di Myanmar, di mana Facebook berperan," ungkap pernyataan itu.
Mereka menambahkan bahwa sekarang menjadi tanggung jawab platform media sosial itu untuk membantu mereka mendapatkan keadilan.
"Kami meminta dia [Sissons] untuk membagikan informasi yang dimiliki Facebook dengan mekanisme keadilan internasional, karena kami telah membaca bahwa mereka belum melakukannya," kata siaran pers tersebut.
“Sissons memberi tahu kami bahwa Facebook bekerja sama dengan mekanisme investigasi independen untuk Myanmar untuk mengidentifikasi informasi yang dapat digunakan dalam kasus hukum. Mekanisme itu kemudian akan membaginya dengan Mahkamah Pidana Internasional, Mahkamah Internasional dan pengacara yang menangani kasus ini di Argentina," tambah pernyataan itu.
Kumpulan organisasi itu meminta dukungan finansial untuk layanan dan kegiatan di kamp pengungsian seperti mengatur pendidikan dan pelatihan bagi pemuda dan orang tua.
“Sissons memberitahu kami bahwa Facebook melakukan banyak pekerjaan untuk melawan ujaran kebencian yang kejam. Upaya ini penting di Myanmar, terutama menjelang pemilu (dijadwalkan pada 8 November)," kata pernyataan itu.
Pada Agustus 2017, militer Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap kelompok minoritas, yang mengakibatkan gelombang eksodus 750.000 warga Rohingya ke Bangladesh. Rohingya adalah salah satu dari banyak etnis minoritas Myanmar, yang mewakili persentase Muslim terbesar di negara itu, dengan mayoritas tinggal di negara bagian Rakhine.
Facebook mendapat kecaman karena pendekatannya yang lemah terhadap berita palsu, kampanye disinformasi dan konten kekerasan yang menyebar melalui platformnya.
Awal pekan ini, Facebook mengakui bahwa pihaknya harus berbuat lebih baik, menyusul laporan tentang pembiaran ujaran kebencian oleh para pemimpin yang terkait dengan partai BJP yang berkuasa di India. Pada 2018, pakar hak asasi manusia PBB yang menyelidiki genosida di Myanmar menyimpulkan bahwa Facebook telah digunakan oleh umat Buddha ultra-nasionalis untuk menyebarkan kebencian dan kekerasan terhadap Rohingya atau etnis minoritas lainnya.