REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Politikus Abdul Rasheed gagal mencalonkan diri dalam pemilihan umum (pemilu) karena dituduh tidak bisa membuktikan bahwa dia memiliki kewarganegaraan Myanmar sejak lahir. Rasheed adalah anggota minoritas Muslim Rohingya yang memiliki kewarganegaraan Myanmar dan ayahnya adalah seorang pegawai negeri.
Rasheed adalah bagian dari segelintir warga Myanmar dari minoritas Muslim Rohingya yang mengajukan diri menjadi kandidat dalam pemilu pada 8 November mendatang. Namun enam orang Rohingya termasuk Rasheed ditolak karena dinilai gagal membuktikan bahwa mereka memiliki kewarganegaraan Myanmar sejak lahir.
Di bawah undang-undang pemilu, hanya warga negara Myanmar yang diizinkan untuk berkompetisi dalam politik. Di apartemennya yang terletak di Yangon, Rasheed memperlihatkan semua dokumen identitas dan surat-surat yang menunjukkan bahwa dia adalah warga negara Myanmar yang sah.
“Kami memiliki semua dokumen yang dikeluarkan pemerintah dan mereka tidak menerima kenyataan bahwa orang tua saya adalah warga negara Myanmar. Saya merasa prihatin," ujar Rasheed.
Ketua Komisi Pemilihan Umum negara bagian Rakhine, Tin Hlaing, meyakini kedua orang tua Rasheed belum menjadi warga negara Myanmar pada saat dia lahir. Sementara Rasheed memiliki dokumen yang menunjukkan bahwa kedua orangtuanya adalah warga negara Myanmar sejak dia lahir. Namun, kartu-kartu kewarganegaraan itu ditarik pada 1990-an ketika sebagian besar orang Rohingya menemukan kartu-kartu tersebut diganti dengan "kartu putih" sementara.
Pada 2015, Presiden Thein Sein mengumumkan kartu putih yang dikantongi oleh orang Rohingya sebagai bukti kewarganegaraan Myanmar telah dicabut. Hal ini membuat hak pilih warga Rohingya dalam pemilu dihapus.
Seorang kandidat independen Rohingya, Abu Tahay, juga gagal mencalonkan diri dalam pemilu. Dia mengatakan dikeluarkannya orang-orang Rohingya sebagai kandidat dalam pemilu menunjukkan bahwa pemerintah Myanmar menghalangi upaya minoritas Rohingya untuk mendapatkan kewarganegaraan dan hidup berdampingan secara damai.
"Mereka tidak memiliki harapan untuk masa depan mereka," ujar Abu Tahay.
Daftar pemilih telah dipasang di seluruh Myanmar. Namun daftar itu tidak ada di kamp-kamp penampungan minoritas Rohingya di luar ibu kota negara bagian Rakhine, Sittwe. Tetua komunitas Rohingya di Sittwe, Kyaw Hla Aung, mengatakan pada 2015 sekitar 200 orang Rohingya muncul dalam daftar pemilih. Namun kali ini tidak ada satu pun yang muncul.
Salah satu dari enam orang Rohingya yang lolos mencalonkan diri dalam pemilu, Aye Win, mengatakan minoritas Muslim Rohingya memiliki sedikit harapan untuk menang karena sebagian besar orang Rohingnya tidak mempunyai kewarganegaraan. "Kalau tidak (memiliki kewarganegaraan), maka situasinya tidak akan bagus," ujar Aye Win.
Myanmar tidak mengakui Rohingya sebagai kelompok etnis. Mereka kerap disebut sebagai "Bengali" yang menyiratkan bahwa mereka adalah imigran ilegal dari Bangladesh. Padahal mereka sudah berada di negara bagian Rakhine selama berabad-abad. Pemerintah Myanmar telah melucuti dokumen identitas Rohingya sehingga mereka tidak bisa membuktikan asal usulnya.