REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Tiga tahun telah berlalu sejak ratusan ribu etnis Rohingya melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar ke Bangladesh. Meski telah mengungsi cukup lama, kondisi mereka tak berubah. Sebagian besar tetap tak memiliki pekerjaan dan masih harus tinggal di gubuk bambu.
Mohib Ullah, seorang tokoh di kamp pengungsi Rohingya di Kutupalong, masih mengingat adegan demi adegan saat militer Myanmar membantai warga Rohingya di Rakhine. "(Militer Myanmar) membunuh lebih dari 10 ribu orang kami. Mereka melakukan pembunuhan massal dan pemerkosaan serta mengusir orang-orang kami dari rumah mereka," katanya dikutip laman Aljazirah, Selasa (25/8).
Pada Agustus tahun lalu, Ullah memperingati momen eksodus Rohingya dari Rakhine ke Bangladesh dengan memimpin unjuk rasa. Sekitar 200 ribu pengungsi di Kutupalong berpartisipasi dalam aksi tersebut. Kutupalong merupakan jaringan kamp pengungsi terbesar di Bangladesh tenggara. Sebanyak 600 ribu Rohingya tinggal di lingkungan yang padat dan tidak sehat.
Namun tahun ini, aksi serupa tak bisa dilakukan. Otoritas Bangladesh telah melarang pertemuan massal dalam rangka mencegah penyebaran Covid-19. Sebagai gantinya, Ullah dan para pengungsi lainnya akan memperingati "Hari Peringatan Genosida" dengan melakukan aksi hening dan doa di gubuk mereka masing-masing.
"Tidak akan ada aksi unjuk rasa, tidak ada pekerjaan, tidak ada sholat di masjid, tidak ada LSM atau kegiatan bantuan, tidak ada sekolah, tidak ada madrasah, dan tidak ada pembagian makanan," ujar Ullah.
Khin Maung, seorang aktivis Rohingya berusia 25 tahun, mengaku kehilangan sepuluh kerabatnya dalam operasi militer Myanmar di Rakhine pada Agustus 2017. Dia tak dapat melupakan kekejaman dan kebengisan yang telah dipraktikkan tentara Myanmar.
"Kami menginginkan keadilan atas pembunuhan tersebut. Kami juga ingin kembali ke rumah. Tapi saya tidak melihat harapan segera. Mungkin butuh waktu bertahun-tahun," kata Maung.
Menurut dia, suasana di kamp-kamp pengungsi sangat penuh tekanan. Keputusasaan telah menyebabkan ratusan orang melarikan diri dengan perahu reyot. Tak jarang mereka menjadi "sasaran" kelompok perdagangan manusia.
Setidaknya 24 pengungsi diyakini telah tenggelam di lepas pantai Malaysia bulan lalu dalam serangkaian tragedi terbaru. Satu-satunya yang selamat berhasil berenang ke pantai.
"Myanmar perlu menerima solusi internasional yang menyediakan pemulangan pengungsi Rohingya yang aman dan sukarela. Sementara Bangladesh yang terbentang luas seharusnya tidak membuat kondisi yang tidak ramah bagi pengungsi yang tidak punya tempat tujuan," kata Brad Adams dari Human Rights Watch.
Bangladesh dan Myanmar sebenarnya telah menandatangani kesepakatan repatriasi. Namun para pengungsi Rohingya enggan dipulangkan sebelum memperoleh jaminan keamanan dan hak-hak dasar lainnya, terutama status kewarganegaraan.
Pada Mei lalu Myanmar telah menyerahkan laporan pertamanya terkait langkah-langkah perlindungan terhadap Muslim Rohingya. Laporan diberikan kepada Pengadilan Pidana Internasional (ICJ) selaku pihak yang memberi mandat tersebut. ICJ tidak merilis detail terkait laporan pertama yang diserahkan Myanmar. Sementara Kementerian Luar Negeri Myanmar mengatakan bahwa isi laporan itu bersifat rahasia.
Pada November tahun lalu, Gambia yang mengatasnamakan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) membawa kasus dugaan genosida terhadap Rohingya ke ICJ di Den Haag, Belanda. Gambia menilai Myanmar telah melanggar Konvensi Genosida PBB. Myanmar dan Gambia merupakan negara pihak dalam konvensi tersebut.
Persidangan pertama kasus dugaan genosida Rohingya digelar selama tiga hari pada 10-12 Desember 2019. Dalam putusannya Januari lalu, ICJ meminta Myanmar untuk mencegah genosida Rohingya lebih lanjut. Negara itu pun diharuskan memberi laporan terkait tindakan pencegahan yang diambilnya setiap enam bulan sekali.