REPUBLIKA.CO.ID, Perjuangan untuk mewujudkan Palestina merdeka menghadapi tiga pilihan jalan yang sama-sama sulit.
Dua di antaranya adalah dengan cara damai dan yang ketiga adalah konflik atau perang. Pilihan pertama adalah negosiasi dengan Israel, baik secara langsung maupun mediasi.
Pengalaman menunjukkan, pilihan itu terbukti "gagal" mengantarkan rakyat Palestina memperoleh keadilan dan mewujudkan cita-citanya segera. Hingga 21 tahun upaya itu, tak satu pun isu penting menjadi agenda pokok negosiasi, baik persoalan pembongkaran pemukiman Yahudi, status kota Jerussalem, maupun persoalan kembalinya pengungsi Palestina. (Lih. Kompilasi Palestine Documents, tahun tidak disebut).
Pilihan kedua adalah memperoleh pengakuan internasional melalui keanggotaan penuh di PBB. Palestina diperkirakan akan sangat sulit memperoleh keanggotaan penuh itu lantaran tekanan luar biasa AS di DK PBB. Bahkan, negara itu sudah menyatakan secara terbuka akan memveto keputusan yang memberikan pengakuan kepada Palestina. Langkah Palestina di PBB dipandang AS sebagai unilateral dan merusak proses perundingan yang selama ini diupayakan. AS sejak beberapa bulan lalu menawarkan paket baru perundingan berdasarkan batas luar 1967.
Pilihan ketiga, dengan berperang. Ini jelas paling menyakitkan, apalagi sama sekali tidak ada paritas antara kekuatan bersenjata Palestina dan kekuatan militer Israel. Sejak 1980-an, Israel menjelma menjadi salah satu negara yang diperhitungkan dalam riset dan industri persenjataan canggih, serta pembangunan kekuatan militernya di dunia. (Amin Huwaidi, 1986, Shina'ah al-ashlihah fi Israil, Mesir).
Israel bahkan diyakini telah memiliki kapasitas deterrence nuklir kendati hingga kini negara itu belum mendeklarasikannya secara resmi. (Isham Fahim Amiry, 1999, Khashaish Tursunah Israel al-Nawawiyah wa Bina al-Syarqi al-awsat al-Jadid, Pusat Riset Strategis UEA).
Di samping itu, tragedi kemanusiaan akibat perang selalu sulit dihindarkan. Rakyat Palestina bahkan juga sebagian rakyat Israel sudah terlalu banyak tertimpa penderitaan akibat konflik dan perang. Jelas, perang merupakan pilihan yang sedapat mungkin harus dihindari. Namun demikian, perkembangan-perkembangan baru di kawasan cenderung menyediakan kondisi bagi Palestina untuk mempertimbangkan kembali opsi itu.
Perkembangan itu, antara lain, memburuknya hubungan Mesir dan Turki dengan Israel, ketegangan yang makin kuat antara Arab Saudi-GCC dan Iran, serta tercapainya rekonsiliasi Hamas-Fatah. Kemudian, kecenderungan baru sebagian petinggi Fatah yang ingin membuka kembali opsi perjuangan senjata dan tentunya pecahnya kekerasan timbal balik Israel dan pejuang Palestina di Gaza.
*Cuplikan dari esai berjudul "Quo Vadis Perjuangan Palestina?", karya Dr Ibnu Burdah MA yang terbit di Harian Republika 2011